Aliran Rasionalisme Dalam Filsafat Modern

PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Rasionalisme adalah aliran yang sangat mementingkan rasio, dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membantu suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Aliran Rasionalisme adalah aliran yang muncul pada abad modern, yang sebelumnya perhatian filsafat melulu dicurahkan pada hal-hal yang bersifat abstrak, sedangkan hal-hal yang kongkret dan tampak pada umumnya diabaikan. Aliaran rasionalisme ini memandang budi atau rasio sebagai sumber dan pangkal dari segala pengertian dan pengetahuan, dan rasiolah yang memegang tampuk pimpinan dalam segala bentuk “mengerti”.
1.2    Rumusan Masalah
a.       Apa  itu  Aliran Rasionalisme Modern
b.      Tokoh-Tokoh Aliran Rasionalisme Filsafat Modern

1.3    Tujuan
a.       Mengetahui pengertian  Aliran Rasionalisme Modern
b.      Mengetahui  pemikiran  dari tokoh-tokoh rasionalisme.








PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pokok Rasionalisme
Secara etimologis, Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggrisrationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. Menurut A.R. Lacey bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.

Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.[1]
Rasionalisme, merupakan aliran filsafat yang sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. yang berpengaruh akan perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi ciri terbentuknya masyarakat modern adalah Rasionalisme. Aliran ini mengutamakan daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Lebih lanjut mengenai aliran Rasionalisme akan dibahas pada bagian dibawah ini.
Setelah pemikiran Renaissance sampai pada penyempurnaannya, yaitu telah tercapainya kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengetahuan yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman empirik (empiri). Karena orang mempunyai kecenderungan untuk membentuk aliran berdasarkan salah satu diantara keduanya, maka kedua-duanya sama-sama membentuk aliran tersendiri yang saling bertentangan.[2]
Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).[3]
2.2 Metode Aliran Rasionalisme
Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbarui, maka memerlukan suatu metode yang baik. Demikian pendapat Descartes. Hal ini mengingat bahwa terjadinya kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam pemikiran-pemikiran filsafat disebabkan karena tidak adanya suatu metode yang mapan, sebagai pangkal tolak yang sama bagi berdirinya suatu filsafat yang kokoh dan pasti. Ia sendiri berpikir sudah mendapatkan metode yang dicarinya itu, dengan menyangsikan segala-galanya atau keragu-raguan. Cegito Ergo Sum: saya yang sedang menyangsikan, ada. Cegito Ergo Sum berasal dari kata latin yang berarti, saya berpikir di sini adalah menyadari. Kesangsian secara langsung menyatakan adanya saya. Cegito Ergo Sum itulah menurut Descartes suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal. Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah saja yang harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran. Empat hal yang perlu diperhatikan untuk memperoleh hasil yang shahih (adequate) dari metode yang hendak di canangkan oleh Descartes, yaitu:[4]
Pertama, tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas (clearly and distinctly), sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
Kedua, Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
Ketiga, bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang saling sulit dan kompleks.
Keempat, dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Dalam cegito ergo sum, maksudnya adalah bahwa “aku yang sedang ragu-ragu menandakan bahwa aku sedang berpikir, sehinnga anggapan kaum skeptis yang paling hebat pun tidak dapat menumbangkannya. Descartes meragukan segala pengetahuan yang ada dalam zamannya dan kebenaran semua ilmu pengetahuan. Ia memutuskan untuk mempersoalkan segala-galanya dengan menggunakan metode skeptis.
Descartes berusaha menemukan sistematik yang benar dan menghilangkan kekeliruan dengan metode yang digunakan sebagai pandangan dunia fisika. Merskipun ia sangat terpengaruh ilmu eksperimental, namun ia lebih mengappresiasi bahwa ilmu bagaikan pohon, meski batangnya berupa fisika, tetapi akarnya metafisika. Hanya melalui eksplorasi metafisika dasar pengetahuan manusia diturunkan. Ia menggunakan logika deduktif yang bergantung pada metafisika.[5]
2.3 Tokoh-Tokoh Rasionalisme
Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masing dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Tokoh-tokoh rasionalisme pada abad XVII adalah: Rene Descartes (1596 -1650), Nicholas Malerbranche (1638 -1775), Baruch De Spinoza (1632 -1677 M), Gottfried Wilhelm von Leibniz (1946-1716), Christian Wolff (1679 -1754), Blaise Pascal (1623 -1662 M)
Sedangkan pada abad XVIII dikenal nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert.
a.      Rene Descartes.
Rene Descartes adalah seorang filsuf yang menganut paham rasionalis. Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan.[6]
Descartes lahir pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye Totiraine, sebuah daerah kecil di Perancis Tengah, adalah anak ketiga dari seorang parlemen Britagne. Pada 1597, ketika berusia 1 tahun, ibunya meninggal. Peristiwa itu sangat membekas pada dirinya dan berakibat timbulnya sifat selalu khawatir di kemudian hari. Pada 1604 hingga 1612, ia belajar di Callege des Jesuites de la  Fleche. Di sana ia belajar logika, filsafat matematika dan fisika.[7]
Menurut Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia, konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan;
Kita harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.[8]
Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali keraguan itu sendiri.
Pada masa mudanya, Descartes berusaha untuk mendapatkan pendidikan sebanyak-banyaknya dengan sekolah dan banyak membaca buku yang ditulis oleh para cendekiawan. Tetapi, setelah menelusuri berbagai pendidikan tersebut Descartes menemukan bahwa masih begitu banyak hal yang dia dapatkan yang belum pasti dan masih banyak diperdebatkan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencabut semua akar pendidikan yang telah didapatkannya dan menggantinya dengan pendapat lain yang lebih baik ataupun dengan pendapat yang sama tetapi telah disesuaikannya berdasarkan nalarnya sendiri. Descartes yakin bahwa dengan cara itu dia akan berhasil mengarahkan hidupnya ke arah yang jauh lebih baik dibanding jika dia membangunnya di atas landasan tua, yaitu apabila dia hanya bertumpu pada prinsip-prinsip yang diserapnya di masa muda tanpa pernah diperiksa kebenarannya. Hal ini dengan jelas dikatakannya dalam bukunya Risalah tentang Metode pada bagian yang pertama.
b.      Nicolas Malebrance
Nicolas Malebranche adalah seorang filsuf dari Mazhab Rasionalisme. Ia lahir pada tahun 1638 dan meninggal pada tahun 1715. Ia terkenal sebagai seorang filsuf dan teolog Kristen dari Perancis. Ia berupaya menggabungkan pemikiran rasionalis Descartes dengan tradisi pemikiran Kristen, khususnya Augustinus.[9]
Buku Malebranche yang paling penting adalah "Pencarian Kebenaran" (The Search After Truth). Di dalam buku tersebut Malebranche memberikan dua pemikirannya yang terkenal mengenai pandangan tentang Allah dan tentang "kesempatan" (occasionalism). Inti pemikiran Malebranche tersebut adalah bahwa ciptaan-ciptaan yang terbatas tidak dapat menjadi penyebab dan hanya Allah saja yang merupakan penyebab yang sebenarnya. Di sini, Malebranche mengembangkan konsep Allah dalam pemikiran Descartes. Ia juga dikategorikan sebagai penganut pahamokasionalisme.
c.       Baruch de Spinoza
Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24 November 1632. Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya. Pada masa kecilnya, Spinoza telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa ia bisa menjadi seorang rabbi. Dalam kehidupannya, ia tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, ia juga mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spanyol, Perancis, Yahudi, Jerman, dan Italia. Pada usianya yang ke 18 tahun, Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara personal dalam sejarah manusia.[10]
d.      Christian Wolff
Christian Wolff adalah seorang filsuf Jerman yang berpengaruh besar dalam gerakanrasionalisme sekular di Jerman pada awal abad ke-18. Meskipun Wolff berasal dari keluarga Lutheran, namun pendidikannya di sekolah Katolik membuatnya mengenal pemikiran Aquinas dan Suárez. Studinya di Leipzig membuat Wolff berkenalan dengan pemikiran Leibniz dan sempat berkirim surat dengan filsuf tersebut. Pada tahun 1706, Wolff mengajar matematika di Halle dan pada tahun 1709, ia mulai mengajar filsafat. Ia meninggal pada tahun 1754.
Pemikiran Wolff pada dasarnya merupakan pengembangan dari filsafat Leibniz dengan menerapkannya terhadap segala bidang ilmu pengetahuan. Ia mengupayakan supaya filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti. Untuk itu, filsafat harus disertai dengan pengertian-pengertian yang jelas dan bukti-bukti yang kuat. Suatu sistem filsafat haruslah berisi gagasan-gagasan yang jelas dan penguraian yang baik. Wolff berjasa dalam membuat filsafat menarik perhatian masyarakat umum.[11]
e.       Blaise Pascal
Blaise Pascal lahir pada tanggal 19 Juni 1623 di Clermont-Ferrand, Perancis. Blaise sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang cerdas walaupun ia tidak menempuh pendidikan di sekolah secara resmi. Di usia 12 tahun, ia sudah bisa menciptakan sebuah mesin penghitung untuk membantu pekerjaan ayahnya. Nama ayahnya adalah Étienne Pascal. Ayahnya adalah seorang petugas penarik pajak yang bekerja di wilayah Auvergne, Perancis. Sejak usia empat tahun Blaise telah kehilangan ibunya. Karya-karyanya terus bertambah mulai dari merancang bangunan segienam (hexagram), menemukan prinsip kerja barometer, sistem kerja arloji, hingga ikut terlibat dalam pembuatan sistem transportasi bawah tanah kota Paris.[12]
Awalnya Pascal tidak berminat pada hal-hal yang berhubungan dengan agama. Ia kemudian mengalami peristiwa pertobatan pada usia 23 tahun. Sejak peristiwa itu, Pascal kemudian mengubah pola hidupnya dengan tekun berdoa dan berpuasa. Tidak hanya itu, ia bahkan ikut bergabung dengan komunitas biara Port-Royal yang beraliran Jansenisme. Saudara perempuannya yang bernama Jacqualine adalah seorang biarawati di biara itu. Pascal pernah menyatakan kritiknya terhadap Ordo Yesuit melalui tulisan-tulisannya yang terkenal,Lettres provinciales yang ditulisnya tahun 1656.





PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara etimologis, Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggrisrationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. Menurut A.R. Lacey bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.
Rasionalisme, merupakan aliran filsafat yang sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. yang berpengaruh akan perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi ciri terbentuknya masyarakat modern adalah Rasionalisme. Aliran ini mengutamakan daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Lebih lanjut mengenai aliran Rasionalisme akan dibahas pada bagian dibawah ini.
Setelah pemikiran Renaissance sampai pada penyempurnaannya, yaitu telah tercapainya kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengetahuan yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman empirik (empiri). Karena orang mempunyai kecenderungan untuk membentuk aliran berdasarkan salah satu diantara keduanya, maka kedua-duanya sama-sama membentuk aliran tersendiri yang saling bertentangan






DAFTAR  PUSTAKA

Achmadi, Asmoro,  1994, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




Harun Hadiwijono. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius

Jalaludin dan Abdullah Idi, 2011, Filsafat Pendidikan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Leni Anggraini, Makalah filsafat modern,



Praja Juhaya S, 2005, Aliran-Aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana.

Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, 2007, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suhartono, Suparman. 2007, Dasar-Dasar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

The Liang Gie, 2007,Pengantar Filsafat ilmu, Yogyakarta: Liberty bekerjasama dengan Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi.




[1]Aliran filsafat Rasionalisme, https://mdsutriani.wordpress.com/2012/06/23/aliran-filsafat-rasionalisme/ diakses 22-Desember-2015, 17:22 Wib.
[2] Asmoro Achmadi,  Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 115.
[3] Jalaludin dan Abdullah Idi, 2011, Filsafat Pendidikan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.hlm 32.
[4] Praja Juhaya S.. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2005, hlm.21
[5] Suhartono, Suparman. Dasar-Dasar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007. Hlm. 34.
[6] Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm 108 .
[7] The Liang Gie, Pengantar Filsafat ilmu, (Yogyakarta: Liberty bekerjasama dengan Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1991), h. 18
[8]Leni Anggraini, Makalah filsafat modern, http://lenianggraini416.blogspot.co.id/2012/10/makalah-filsafat-modern.html, diakses 26-Desember-2015, 21:21 Wib.
[9] Nicolas Malebranche, https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolas_Malebranche, diakses 25-Desember-2015, 16:22 Wib.
[10] Baruch  de spinoza, https://id.wikipedia.org/wiki/Baruch_de_Spinoza#Riwayat_Hidup, diakses  21-Desember-2015 , 21:24 Wib. 
[11] Harun Hadiwijono. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 63.
[12] Blaise Pascal, https://id.wikipedia.org/wiki/Blaise_Pascal#Riwayat_Hidup, diakses 20-Desember-2015, 20:10 Wib.

Post a Comment

0 Comments