BAB I
PENDAHULUAN
Kedhoifan satu hadist hanya
dihubungkan dengan kelemahan perawinya tetapi bukan kedhaifan secara hakikat,
oleh karena itu kebanyakan pengikut dari mazhab imam Syafi'i lebih dominan untu
istikhrah didalam menentukan hadist itu dhaif atau tidak. Pada dasarnya,
kedudukan Ulama ahlul-hadist itu setingkat dibawah Para mujtahid (ulama fiqih 4
mazhab). Sebagai penutup penjelasan, Nabi Muhamad SAW pernah berkata kata:
“siapa orang dimana Allah menginginkan kebaikan yang kepadanya, maka Allah akan
memberikan tafaquh-fiddin (kefahaman agama)”. Mereka (para imam mazhab) boleh
mengeluarkan berbagai hukum dari 1 ayat quran, sehingga 1 ayat boleh
dikeluarkan 10 hukum.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Hadits Dha`if
B. Macam-macam Hadits Dha`if
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Hadits Dha`if
Kata “Dha`if” menurut bahasa berasal
dari kata”dhu`fun” yang berarti lemah lawan dari kata “qawiy” yang berarti
kuat, sedangkan hadits dha`if berarti hadits yang tidak memenuhi kriteria
hadits hasan. hadits dha`if disebut juga hadits mardud(ditolak). Contoh Hadits
Dha`if adalah hadits yang artinya:
“bahwasanya
Nabi SAW wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya”
Hadits tersebut dikatakan Dha`if
karena diriwayatkan dari Abu Qais Al-Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.[1]
Secara terminologis, para ulama
berbeda pendapat dalam merumuskanya. Namun demikian, secara substansial
kesemuanya memiliki persamaan arti. Imam Al-Nawawi, misalnya mendefinisikan
Hadits Dha`if dengan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat
hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj
Al-Khathib, Hadits Dha`if didefinisikan sebagai segala hadits yang di dalamnya
tidak terkumpul sifat-sifat maqbul. Nur Al-Din itr merumuskan Hadits Dha`if
dengan hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul
”hadits yang shahih atau hadits yang hasan”.
Berdasarkan definisi rumusan di
atas, dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari
syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan, maka hadis tersebut dapat dikategorikan
sebagai Hadits Dhaif. Artinya jika salah satu syarat saja hilang, disebut
Hadits Dha`if. Lalu bagaimana jika yang hilang itu dua atau tiga syarat?
Seperti perawinya tidak adil, tidak dhabit, atau dapat kejanggalan dalam
matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan sebagai Hadits
Dha`if yang sangat lemah sekali.[2][2]
2. Macam-macam
Hadits Dho’if
Hadist Dhaif dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu: Hadits Dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya,
dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif
karena gugurnya Rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi
adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu
sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada
beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara
lain yaitu:
1)
Hadits
Mursal
Hadits mursal menurut bahasa,
berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal
adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di
akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang
meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah
dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits,
seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi,
hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi,
sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal:
Artinya:Rasulullah
bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri
jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin
Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin
Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits
mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah
atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah,
Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi
hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
2)
Hadits
Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi
ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’
adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang
akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang
akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di
tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi
yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua
rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits munqathi’:
Artinya: Rasulullah
SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas
Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu
rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari
Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya
dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits
munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan
Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada
tingkatan tabi’in.
3)
Hadits
Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal
adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa
hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara
beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba,
dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi: Imam Malik berkata: Telah sampai kepadaku,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:Budak
itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut,
tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah.
Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar
kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin
Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur
adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4)
Hadits
mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq
berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah
hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bias juga bila semua
rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh: Bukhari berkata: Kata Malik, dari Zuhri, dan
Abu Salamah dari Abu Huraira,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:Janganlah
kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia
sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah
menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk
dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah
hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut
tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis (yang
menyembunyikan cacat hadits). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu
disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif
karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat
menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat
bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering
keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan
hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan
sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan
di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian
yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan
atau rawi:
1) Hadits
Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki
pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa
hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi
disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni
musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni
kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic
terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya.
Hadits maudhu’ merupakan
seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang
berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa
yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a) Hadits yang
dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu
diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW.
berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali
dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b) Adapun hadits lainnya : “anak zina
itu tidak masuk surga tujuh turunan”. Hadits tersebut bertentangan dengan
Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al An’am :
164 )
c) \“Siapa yang memperoleh
anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. “orang
yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan
Muawiyah”.
Demikianlah sedikit uraian mengenai
hadits maudhu’. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh
pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang
memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku
telah membuat beberapa hadits tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah hadits tentang
keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum
pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah membuat 3000
hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.
2)
Hadits
matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti
hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits
matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh
berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau
pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah
Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan
sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan
rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid
dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama
dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh
berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti
hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama
bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan
menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya:“Barangsiapa
yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati
tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan
matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4)
Hadits
Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal
berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini
adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang
menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh :
Rasulullah
bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid
dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya
dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti
dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin
Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian
hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu.
Contoh:
Rasulullah bersabda: “Saya adalah za’im (dan za’im itu
adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan
tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan
(dengan tempat tinggal di taman surga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah
SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang
diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada
matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk
matan yang lain.
Contoh:
Rasulullah
SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah
dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai
kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi: Rasulullah SAW
bersabda : “Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku
suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti
hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan
dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya.
Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang
kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya. Contoh :
“Rasulullah
bersabda: “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang
dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan
dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya.
Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas
terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits
syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.
BAB III
PENUTUP
a. KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat
diambil kesimpulan bahwa Hadits Dho’if adalah hadits dimana pengamalannya tidak
diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama hadits, meskipun ada beberapa
ulama yang berbeda pendapat tentang memperbolehkan pengamalannya.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Maliki,Muhammad
Alawi, Ilmu Ushul Hadits,
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006)
Nor Ichwan ,
Mohammad. Studi Ilmu Hadits. (Semarang
Rasail, 2007)
0 Comments
Terima Kasih telah berkunjug ke Artikel Saya, Silahkan Komnetar di Halaman bawah ini. Jadilah Pengutip yang Baik.