Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seluruh alam.
Yang telah memberi kami kesempatan dan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada suri tauladan kita dan junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang diutus
sebagai rahmat bagi semesta alam, berserta keluarga dan para sahabatnya serta
para pengikutnya yang setia sampai hari kemudian.
Karya Ilmiah ini kami buat dengan maksud untuk menunaikan tugas
kami mengenai Mata Kuliah Sosiologi Agama. Kami berharap penyusunan dalam bentuk makalah ini akan memberi banyak
manfaat dan memperluas ilmu pengetahuan kita.
Dan kami menyadari didalam penyusunan
ini mungkin masih belum sempurna dan terdapat kesalahan dalam penyusunannya,
kami mohon untuk bimbingan dan kritik serta saran yang bersifat membangun.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami mohon, semoga usaha ini merupakan
usaha yang murni bagi-Nya dan berguna bagi kita sekalian sampai hari kemudian.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... I
DAFTAR ISI ....................................................................................................... II
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................. 2
PEMBAHASAN
2.1 Interaksi Simbolik Dalam Perspektif
Sejarah .................................................. 3
2.2 Akal Historis Utama ....................................................................................... 5
2.3 Lingkup Pembahasan Interaksi Simbolik ........................................................ 7
2.4 Asumsi-Asumsi Interaksionisme
Simbol ........................................................ 9
2.5 Interaksionisme Simbolik Dalam Realitas
Sosial ........................................... 17
2.6 Masyarakat Sebagai Interaksi Simbolis .......................................................... 18
PENUTUP
3.1 Simpulan ....................................................................................................... 22
Daftar Pustaka .................................................................................................. 23
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam ilmu
sosiologi, semua lapisan masyarakat dalam kehidupan ini pasti berinteraksi baik
sesama manusia yang ada di sekitarnya maupun manusia di tempat lainnya. Sebagai
mahluk sosial hal tersebut pastilah terjadi karena manusia tidak dapat hidup
dan berkembang tanpa adanya esensi dari mahluk lainnya.
Konsep teori
interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Helbert Blumer sekitar tahun 1939.
Dalam lingkup sosiologi , ide ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan
oleh George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh Blumer guna
mencapai tujuan tertentu. Karakteristik
dasar teori ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia
dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang
terjadi antar-individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan.
Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa
individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung
secara sadar. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain
suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai
maksud dan disebut dengan “simbol”.
Teori ini
termasuk “baru” dalam ilmu sosiologi, sehingga wajar bahwasanya teori ini
disebut teori kontenporer. Teori ini mempunyai keunikan-keunikan lain apabila
dibandingkan dengan teori kontenporer lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh
George Ritzer[1], bahwa teori
interaksi simbolik adalah teori yang paling sulit disimpulkan.
Teori
interksi simbolik sering disebut juga sebagai teori sosiologi interpretatif.
Selain itu, teori ini ternyata sangat dipengaruhi oleh ilmu psikologi,
khususnya psikologi sosial. Teori ini juga didasarkan pada persoalan konsep
diri.
1.2 Rumusan
Masalah
a. Sejarah
Interaksionisme Simbolik
b. Akal
Pertama Tentang Interaksionisme
c. Lingkup
Pembahasan Tentang Interaksi Simbolik
1.3 Tujuan
Penulisan
a. Memahami
apa yang dimaksud dengan interaksi simbolik
b.
Mengetahui apa itu simbol-simbol
c.
Menyelesaikan salah satu tugas karya ilmiah mata kuliah Sosiologi Agana.
PEMBAHASAN
2.1 INTERAKSI
SIMBOLIK DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Interaksi
simbolik merupakan salah satu perspektif teori yang baru muncul setelah adanya
teori aksi (action theory), yang dipelopori dan dikembangkan oleh Max
Weber. Sebagai teori yang baru muncul setelah teori aksi maka pendekatan yang
digunakan juga pendekatan Max Weber yang digunakan dalam teori aksi.
Teori ini
berkembang pertama kali di universitas Chicago, dan dikenal dengan mahzab
Chicago. Namun, tokoh utamanya dari teori ini berasal dari berbagai universitas
di luar Chicago, di antaranya John dewey dan C.H Cooley, yaitu seorang filsuf
yang semula mengembangkan teori interaksi simbolik di Universitas Michigan-kemudian
pindah ke Chicago dan banyak memberi pengaruh kepada W.I Thomas dan G.H Mead.
Mead sangat
dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin, yang pada intinya menyatakan bahwa
organisme hidup secara berkelanjutan terlibat dalam usaha penyesuaian diri
dengan lingkungannya, sehingga organisme itu mengalami perubahan yang
terus-menerus. Dari dasar pemikiran semacam ini Mead melihat pemikiran manusia,
sebagai sesuatu yang muncul dalam proses evolusi alamiah.
Secara
bertahap, individu memperoleh konsep diri dalam interaksi-nya dengan
orang-orang lain sebagai bagian dari proses yang sama dengan proses pemunculan
pikiran. Jika proses berpikir itu terdiri dari suatu percakapan internal, maka
konsep diri itu didasarkan pada individu yang secara tidak kasatmata
(kelihatan) menunjuk pada identitas dirinya yang dinyatakan oleh orang lain.[2]
Robert Park
sebagai murid George Simmel tenyata membawa pengaruh kedalam sosiologi Amerika
yang dikembangkan di Chicago, George Simmel sebenarnya adalah tokoh dalam
interaksi sosial. Simmel terkenal sebagai tokoh sosiologi formal, karena simmel
lebih banyak mengkaji interaksi sosial dari segi bentuknya dan bukan dari segi
isinya (substansinya). Menurut simmel, masyarakat dikatakan sebagai suatu
bentuk interaksi sosial yang terpola seperti halnya jaring laba-laba. Simmel
lebih banyak mengkajui pola-pola sosial (sociation) sebagai proses dimana
masyarakat itu terjadi.
Adapun
bentuk-bentuk hubungan sosial itu menurut simmel, seperti: dominasi,
subordinasi, kompetisi, imitasi, pembagian pekerjaan, pembentukan kelompok,
kesatuan agama, kesatuan keluarga, dan kesatuan pandangan.
Suatu konsep
yang memandang masyarakat dibentuk oleh suatu pertukaran gerak tubuh dan bahasa
(simbol) yang mewakili proses mental. Simbol atau tanda yang diberikan oleh
manusia dalam melakukan interaksi mempunyai makna-makna tertentu, sehingga akan
dapat menimbulkan komunikasi. Menurut Mead, komunikasi secara murni baru
terjadi bila masing-masing pihak tidak saja memberikan makna terhadap perilaku
mereka sendiri, tetapi memahami atau berusaha memahami makna yang diberikan
pihak lain.
Sebagai
pencetus teori interaksionisme simbolik, George Herbert Mead pada awalnya
memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku.
Para mahasiswanyalah yang, setelah kematian Mead, kemudian menerbitkan
pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku yang berjudul Mind, Self, and
Society. Herbert Blumer teman sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan
menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuat termonologi yang
ingin menggambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and
humanizing activity that people can engage in talking to each other”.[3]
Judy
Peterson dan Shannon Van Horn, menemukan bahwa teori interaksi simbolik
membingkai perasaan orang dewasa yang lebih tua mengenai identitas gender.
Namun, beberapa penelitian mengamati bahwa teori interaksi simbolik merupakan
sebuah komunitas teori bukan dari teori yang sederhana.
2.2 AKAL
HISTORIS UTAMA
Pada umumnya
interaksionisme simbolik adalah filsafat pragmatisme dan behaviorisme
psikologis.
Pragmatisme
adalah pemikiran filsafat yang meliputi banyak hal. Ada beberapa aspek
pragmatisme yang memengaruhi orientasi sosiologis yang dikembangkan oleh Mead. Pertama,
menurut pemikir pragmatisme, realitas sebenarnya tidak berada “diluar” dunia
nyata; realitas “diciptakan secara aktiv saat kita bertindak di dalam dan
terhadap dunia nyata”. Kedua, manusia mengingat dan mendasarkan
pengetahuan mereka mengenai dunia nyata pada apa yang telah terbukti berguna
bagi mereka. Ketiga, manusia mendefiniskan “objek” sosial dan fisik yang
mereka temui di dunia nyata menurut kegunaannya bagi mereka. Keempat, bila
kita ingin memahami aktor, kita harus mendasarkan pemahaman itu diatas apa-apa
yang sebenarnya mereka kerjakan dalam dunia nyata.[4]
Aliran pragmatisme
yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiliam James, Charles Pierce, dan Josiah Royce
mempunyai beberapa pandangan.[5]
Ralph LaRosa
dan Donald C. Reitzes mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori
interaksionisme simbolik. Tujuh asumsi tersebut memperlihatkan 3 tema besar
yakni :[6]
1) Pentingnya makna bagi prilaku manusia
2) Pentingnya konsep mengenai diri
3) Hubungan antar individu dan masyarakat
Ada tiga hal
yang penting bagi interaksionisme simbolik:
a. Memusatakan perhatian pada interaksi antara aktor dan dunia nyata
b. Memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukan
sebagai struktur yang statis
c. Dan arti penting yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk
menafsirkan kehidupan sosial.
Behaviorisme,
Lewis dan Smith menafsirkan bahwa Mead dipengaruhi oleh
behaviorisme psikologis, sebuah perspektif yang juga membawanya ke arah realis
dan empiris. Mead sebenarnya menyebut basis pemikirannya sebagai behaviorisme
sosialuntuk membedakannya dari behaviorisme radikal dari John B.
Watson.[7]
Berhaviorisme
radikal watson memusatkan perhatian pada prilaku individual yang dapat diamati.
Sasaran perhatiannya adalah pada stimuli atau prilaku yang mendatangkan respon.
Penganut behaviorisme radikal menyangkal atau tak mau menghubungkan proses
mental tersembunyi yang terjadi diantara saat stimuli dipakai dan respon
dipancarkan.
Menurut
Mead, unit study adalah “tindakan” yang terdiri dari aspek tersembunyi dan yang
terbuka dari tindakan manusia. Didalam tindakan itulah semua kategori
psikologis tradisional dan ortodoks menemukan tempatnya.
Pragmatisme
dan behaviorisme, terutama dalam teori Dewey dan Mead, diajarkan ke banyak
mahasiswa di Universitas Chicago, terutama pada 1920-an mahasiswa-mahasiswa
itu, didalamnya adalah Herbert Blumer, membangun interaksionisme-simbolik.
Tentu saja ada teoritisi lain yang memengaruhi mahasiswa ini, dan yang
terpenting diantaranya adalah George Simmel. Perhatian Simmel terhadap
bentuk-bentuk tindakan dan interaksi adalah sesuai dengan, dan merupakan
perluasan dari teori Meadian.
Blumer
menciptakan istilah interaksionisme simbolik tahun 1937 dan menulis
beberapa esai yang menjadi instrumen penting bagi perkembangannya. Sementara
Mead berupaya membedakan interaksionisme-simbolik yang baru lahir itu dari
behaviorisme, blumer melihat interaksionisme-simbolik berperan di dua front. Pertama,
behaviorisme-reduksionis yang membuat Mead cemas. Masih ada lagi ancaman serius
yang berasal dari teori sosiologi berskala luas terutama fungsionalisme
struktural. Menurut Blumer, baik behaviorisme maupun fungsionalisme struktural
sama-sama cenderung memusatkan perhatian pada faktor yang melahirkan prilaku
manusia.[8]
2.3 LINGKUP PEMBAHASAN INTERAKSI SIMBOLIK
Pada
perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang prilaku
manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan kelompok atau
masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku
dan interaksi manusia itu dapat dibedakan, karena ditampilkan lewat simbol dan
maknanya. Mencari makna dibalik yang sensual menjadi penting didalam interaksi
simbolis.[9]
Secara umum,
ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik yaitu : (1)
prilaku manusia mempunyai makna dibalik yang menggejala, (2) pemaknaan
kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia, (3) masyarakat
merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan
tidak terduga, (4) perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran
penomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan
didasarkan atas proses mekanik dan otomatis, (5) konsep mental manusia itu
berkembang dialektik dan (6) prilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.
Definisi
situasi yang dibuat oleh masyarakat merupakan aturan yang mengatur interaksi
antar manusia. Ada tiga jenis aturan yang mengatur prilaku manusia ketika
mereka berinteraksi dengan orang lain, yang disebutkan oleh David A. Karp dan
W. C. Yoels dalam bukunya symbol, selves, and society: understanding
interaction (1979), yaitu: (1) aturan mengenai ruang : (2) aturan mengenai
waktu : (3) aturan mengenai gerak dan sikaf tubuh.[10]
“Teori ini
lebih dari sisi proses komunikasi. Dalam komunikasi itu ada dua hal yang
penting, yaitu isyarat dan simbol, kemudian diperlukan proses pemikiran dalam
menggunakan dan menerjemahkan simbol-simbol tersebut.(Menurut Paul Johnson)”
Interaksi
simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai salah satu simbol yang
terpenting dan isyarat (decoding). Akan tetapi, simbol bukan merupakan
faktor-faktor yang telah terjadi (Given), melainkan merupakan suatu
proses yang berlanjut. Maksudnya, ia merupakan suatu proses penyampaian
“makna”. Penyampaian makna dan simbol inilah yang menjadi subjekmatterdalam
teori interaksi simbolik.
Dimikian
pula halnya, teori interaksionalisme simbolik yang dibangun dari paradigma
definisi sosial memandang manusia sebagai aktor yang sadar dan refleksif, yang
menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blummersebagai
self indication (Poloma, 1987;264).[11]
Menurut
teori interaksionisme simbolik, fakta sosial bukanlah merupakan barang sesuatu
yang mengendalikan dan memaksakan tindakan manusia. Dalam hal ini organisasi
masyarakat (fakta sosial) merupakan kerangka didalam mana tindakan manusia
mengambil tempat, bukan merupakan faktor penentu tindakan sosial.
Karakteristik
dari teori interaksi simbolik ini ditandai oleh hubungan yang terjadi
antar-individu dalam masyarakat. Dengan demikian, individu yang satu
berinteraksi dengan yang lain melalui komunikasi. Individu adalah simbol-simbol
yang berkembang melalui interaksi simbol yang mereka ciptakan. Masyarakat
merupakan rekapitulasi individu secara terus menerus.[12]
2.4 ASUMSI-ASUMSI INTERAKSIONALISME SIMBOL
Self
Indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui
sesuatu, menilainya, memberinya makna dan memikirkan untuk bertindak
berdasarkan makna itu. Bagi Blummer interaksionalisme simbolik bertumpu pada
tiga premis :[13]
a. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada
sesuatu itu bagi mereka.
b. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang
lain.
c. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial
berlangsung.
Dari ketiga
premis tersebut dapat dimaklumi apabila bagi teori ini, konsep individual,
interaksi dan interpretasi merupakan tiga terminologi kunci dalam memahami
kehidupan sosial.
Cara lain
untuk mengatakan hal ini ialah, bahwa simbol signifikan adalah suatu makna yang
dimengerti bersama. Hal itu dikembangkan melalui interaksi, yang pada dirinya
merupakan persoalan manusia yang berusaha untuk mencapai hasil-hasil praktis
dalam kerjasamanya satu sama lain. Mead, melukiskan suatu keintiman antara dua
orang dimana kedua orang itu mengembangkan suatu bahasa yang hampir bersifat
pribadi dalam proses kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari tetapi untuk Mead hal
ini adalah suatu proses sosial yang umum. Interaksi sosial menghasilkan
makna-makna dan makna-makna membentuk dunia kita. Ada suatu pengertian dimana
kita menciptakan dunia kita dengan memberikan makna terhadapnya : sepotong kayu
adalah sepotong kayu. Dalam kegiatan harian kita hal itu menjadi sebuah meja.
Kata “meja” berarti peran yang dimainkannya dalam interaksi kita : sesuatu yang
menjadi tempat makanan, tempat bekerja, sebagai penghalang untuk melawan
juru-sita. Makna-makna sedemikian berubah dan berkembang dan ketika hal itu
terjadi duniapun berubah dan berkembang.[14]
Fungsi
bahasa atau simbol yang singnifikan pada umumnya adalah menggerakkan tanggapan
yang sama dipihak individu yang berbicara dan juga dipihak lainnya. Dengan
mengadopsi orientasi aliran pragmatis ini, mead juga melihat “fungsi” isyarat
pada umumnya dan simbol signifikan pada khususnya.
Fungsi
isyarat adalah “menciptakan peluang diatara individu yang terlibat dalam
tindakan sosial tertentu dengan mengacu pada objek atau objek-objek yang
menjadi sasaran tindakan itu “. Dengan demikian muka cemberut yang tak
disengaja mungkin dibuat untuk mencegah seorang anak kecil terlalu dekat ke
tepi jurang dan dengan cara demikian mencegahnya berada dalam situasi yang
secara potensial berbahaya. Sementara isyarat non signifikan bekerja, “ simbol
yang signifikan memberikan kemudahan jauh lebih besar untuk menyesuaikan diri
dan penyesuain-diri-kembali (readjustment) ketimbang yang diberikan
isyarat non signifikan, karena simbol signifikan menggerakan sikap yang sama
dalam diri individu. Dan memungkinkan individu itu menyesuaikan prilakunya
berikutnya dengan prilaku orang lain dalam hal sikap. Singkatnya, isyarat percakapan
yang disadari atau yang signifikan adalah mekanisme yang jauh lebih memadai dan
efektiv untuk saling menyesuaikan diri dalam tindakan sosial ketimbang isyarat
percakapan yang tak disadari atau yang tak signifikan.
Yang sangat
penting dari teori Mead ini adalah fungsi lain simbol signifikan yakni
memungkinkan proses mental, berfikir. Hanya melalui simbol signifikan khususnya
melalui bahasa manusia bisa berpikir (hewan yang lebih rendah menurut Mead
tidak bisa berpikir).[15]
Menurut
Blumer tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa “kekuatan Luar” (seperti
yang dimaksudkan oleh kaum fungsionalis struktural) tidak pula disebabkan oleh
“kekuatan dalam” (seperti yang dinyatakan oleh kaum reduksionis-psikologis).[16]
Menurut
Mead, keseluruahan sosial mendahului pemikiran indvidual baik secara logika
maupun secara temporer. Individu yang berfikir dan sadar diri adalah mustahil
secara logika menurut teori Mead tanpa didahului adanya kelompok sosial.
Kelompok sosial muncul lebih dulu, dan kelompok sosial menghasilkan
perkembamgan keadaan mental kesadaran diri.[17]
Mead
mengidentifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan.
Keempat tahap itu mencerminkan satu kesatuan organik (dengan kata lain
keempatnya saling berhubungan secara dialektis). Mead selain tertarik pada
kesamaan tindakan tindakan binatang dan manusia, juga terutama tertarik pada
perbedaan tindakan antara kedua jenis mahluk itu.
Implus, tahap pertama adalah dorongan hati atau impus/impuls
(impulse) yang meliputi “stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan
alat indera” dan reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan
sesuatu terhadap rangsangan itu.
Persepsi, Tahap kedua adalah untuk persepsi (perception). Aktor
menyelidiki dan beraksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls,
dalam hal ini rasa lapar dan juga berbagai alat yang tersedia untuk
memuaskannya. Manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan dan memahami stimuli melalui pendengaran,
senyuman, rasa, dan sebagainya.[18]
Manipulasi, tahap ketiga adalah manipulasi (manipulation). Segera
setelah implus menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah
selanjutnya adalah memanipulasiobjek atau mengambil tindakan berkenaan dengan
objek itu.
Kumsumasi, berdasarkan pertimbangan ini aktor mungkin memutuskan
untuk memakan cendawan (atau tidak) dan ini merupakan tahap keempat tindakan,
yakni tahap pelaksanaan/komsumasi (konsummation), atau mengambil tindakan yang
memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Baik manusia maupun binatang mungkin
memakan cendawan beracun karena kemampuannya untuk memanipulasi cendawan dan
memikirkan (dan membaca) mengenai implikasi dari memakannya.
Pikirian (Mind)
Pikiran,
yang didefinisikan mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya
sendiri, tidak ditemukan didalam diri individu : pikiran adalah penomena sosial.
Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral
dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah
produk dari pikiran. Jadi, pikiran juga didefinisikan secara fungsional
ketimbang secara substansif.[19]
Menurut
Mead, manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya
sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sebelum melakukan tindakan yang
sebenarnya, seseorang mencoba terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu
melalui pertimbangan pemikirannya.
Berfikir
menurut mead adalah suatu proses individu berinteraksi dengan dirinya sendiri
dengan melakukan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan
diri sendiri itu, individu memilih mana diantara stimulus yang tertuju
kepadanya akan ditanggapinya.[20]
Mead juga
melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berfikir
yang mengarah pada penyelesaian masalah. Dunia nyata penuh dengan masalah dan
fungsi pikiranlah untuk mencoba menyelesaikan masalah dan memungkinkan orang
beroprasi lebih efektiv dalam kehidupan.
Diri (self)
Banyak
pemikiran mead pada umumnya, dan khususnya tentang pikiran, melibatkan
gagasanya mengenai konsep diri. Hingga saat ini kita menghindari konsep ini,
tetapi ini perlu dibahas agar diperoleh pemahaman lebih lengkap mengenai
pemikiran mead.[21]
Pada dasar
diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri
adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyarakat
proses sosial : komunikasi antar manusia. Binatang dan bayi baru lahir tidak
mempunyai diri. Diri muncul berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan
sosial. Menurut mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam
ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri berkembang, ada
kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.
Diri
berhubungan secara dialektis dengan pikiran artinya, disatu pihak menyatakan
bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran telah
berkembang. Dilain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi perkembangan
pikiran. Memang mustahil untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah
proses mental.
Mekanisme
umum untuk mengembangkan diri adalah refleksitas atau kemampuan menempatkan
diri secara tak sadar kedalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka
bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain
memeriksa diri mereka sendiri.
Perkembangan anak.Mead sangat tertarik pada usul diri ia melihat
percakapan isyarat sebagai latar belakang bagi diri, tetapi hal itu tidak
menyangkut diri, karena dalam percakapan semacam itu orang tidak menempatkan
dirinya sendiri sebagai objek. Mead menurut asal usul diri melalui dua tahap
dalam perkembangan masa kanak-kanak.[22]
Tahap
bermain. Pertama adalah tahap bermain (playstage) dalam ini tahap ini
anak-anak mengambil sikap orang lain tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri.
Meski binatang juga bermain, namun hanya manusialah “yang bermain dengan orang
lain”.
Tahap
permainan. Tahap selanjutnya adalah tahap
permainan (gamestage) yang diperlukan agar manusia dapat mengembangkan
diri menurut makna istilah itu sepenuhnya. Dalam tahap bermain-main, anak-anak
tidak terorganisir secara keseluruhan karena mereka memainkan sederetan peran
yang berlainan.Akibatnya, menurut Mead mereka tidak mempunyai kepribadian yang
nyata.[23]
Kapasitas Berpikir
Asumsi
penting bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berpikir membedakan
interaksionisme simbolik dari akar behavirismenya. Asumsi ini juga menyediakan
basis semua teori yang berorientasi pada interaksionalisme simbolik. Bernard
Meltzer, J. Petras dan Reynold mengatakan bahwa asumsi tentang manusia memiliki
kemampuan berpikir adalah salah satu sumbangan teoritisi interaksionisme
simbolik awal seperti James Dewey, Thomas Cooley dan tentu saja Mead “individu
dalam masyarakat tidak dilihat sebagai unit yang dimotivasi oleh kekuatan
eksternal atau internal diluar kontrol mereka atau didalam kekurangan struktur
yang kurang lebih tetap.[24]
Berpikir dan Berinteraksi
Manusia
hanya memiliki kapasitas umum untuk berpikir. Kapasitas ini harus dibentuk dan
diperhalus dalam proses interaksi sosial. Pandangan ini menyebutkan teoritisi
interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi
sosial yakni sosialisasi. Kemampuan manusia untuk berpikir dikembangkan sejak
dini dalam sosialisasi anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi dimasa
dewasa.[25]
Pakar
interaksionisme simbolik tak hanya tertarik pada perspektif sosialisasi
sederhana, tetapi juga pada interaksi pada umumnya yang “sangat penting dalam
bidang kajiannya sendiri” interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir
dikembangkan dan diperlihatkan. Semua jenis interaksi, tak hanya interaksi
selama sosialisasi, memperbesar kemampuan kita untuk berpikir. Lebih dari itu,
pemikiran membentuk proses interaksi.
Pentingnya
pemikiran menurut pakar interaksionisme simbolik tercermin dalam pandangan
mereka mengenai objek. Blumer membedakan tiga jenis objek : objek fisik seperti
kursi atau pohon : objek sosial seperti seorang mahasiswa atau seorang ibu:
objek abstrak seperti gagasan atau prinsip moral.
Pembelajaran makna dan simbol
Dengan
mengikuti mead, teoritisi interaksionisme simbolik cenderung menyetujui
pentingnya sebab musabab interkasi sosial. Dengan demikian, makna bukan berasal
dari proses dengan demikian makna bukan proses mental yang menyendiri tetapi
berasal dari interaksi. Pemusatan perhatian ini berasal dari pragmatisme mead.
Ia memusatkan perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses
mental yang teori isolasi.
Manusia
mempelajari makna dan simbol di dalam interaksi sosial. Manusia menanggapi
tanda-tanda dengan tanpa berpikir sebaliknya, mereka menanggapi simbol dengan
cara berpikir.[26]
Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan
orang bertindak menurut cara-cara yang khas dilakukan manusia. Karena simbol,
manusia “tidak memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang memaksakan
dirinya sendiri, tetapi secara aktiv menciptakan dan mencipta ulang dunia
tempat mereka berperan”. Sebagai tambahan atas kegunaan umum ini, simbol pada
umumnya bahasa pada khususnya, mempunyai sejumlah fungsi khusus bagi aktor.
Pertama, simbol memungkinkan orang menghadapi
dunia material dan dunia sosial dengan memungkinkan mereka untuk mengatakan
menggolongkan dan mengingat objek yang mereka jumpai disitu.
Kedua, simbol meningkatkan kemampuan manusia
untuk memahami lingkungan. Daripada dibanjiri oleh banyak stimuli yang tak
dapat dibeda-bedakan, aktor dapat berjaga-jaga terhadap bagian lingkungan
tertentu saja ketimbang terhadap bagian lingkungan yang lain.
Ketiga, simbol meningkatkan kemampuan untuk
berpikir. Jika sekumpulan simbol bergambar hanya dapat meningkatkan kemampuan
berpikir secara terbatas, maka bahasa akan dapat lebih mengembangkan kemampuan
ini. Dari artian ini, berpikir dapat dibayangkan sebagai berinteraksi secara
simbolik dengan diri sendiri.
Keempat, simbol meningkatkan kemampuan untuk
menyelesaikan berbagai masalah. Binatang harus menggunakan cara trial and
error, tetapi manusia dapat memikirakan dengan menyimbolkan berbagai alternatif
tindakan sebelum benar-benar melakukannya. Kemampuan ini mengurangi peluang
berbuat kesalahan yang merugikan.
Kelima, simbol memungkinkan aktor mendahului waktu,
ruang dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, aktor dapat
membayangkan seperti apa kehidupan dimasa lalu atau seperti apa kemungkinan
hidup dimasa depan. Lagipula, aktor dapat secara simbolik mendahului pribadi
mereka sendiri dan membayangkan seperti apa kehidupan ini dilihat dari sudut
pandang orang lain. Inilah konsep teroritisi interaksionisme simbolik yang
terkenal : mengambil peran orang lain.
Keenam, simbol memungkinkan kita membayangkan
realitas metafisik, seperti surga dan neraka.
Ketujuh, dan paling umum simbol memungkinkan orang
menghindari dari perbudak oleh lingkungan mereka. Mereka dapat lebih aktiv
ketimbang pasif artinya mengatur sendiri mengenai apa yang akan mereka
kerjakan.
2.5 INTERAKSI SIMBOLIK DALAM REALITAS SOSIAL
Manusia
mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Kemampuan
itu digunakan untuk berkomunikasi antar pribadi dan pikiran subjektif. George
Herbert Mead Menyatakan, bahwa pikiran atau kesadaran manusia sejalan dengan
kerangka evolusi Darwinis. Berpikir, bagi Mead, sama artinya setara dengan
melakukan perjalanan panjang yang berlangsung dalam masa antargenerasi manusia
yang bersifat subhuman. Dalam “perjalanan” itu ia terus-menerus terlibat
dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga sangat
memungkinkan terjadinya perubahan bentuk dan karakteristiknya.[27]
Komunikasi
melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling sederhana dan yang
paling cocok dalam berkomunikasi, tetapi manusia tidak terbatas pada bentuk komunikasi
ini. Bentuk yang lain adalah komunikasi simbol. Karakteristik khusus dari
komunikasi simbol manusia adalah tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik.
Sebaliknya, menggunakan kata-kata dan simbol-simbol suatu yang mengandung arti
yang dipahami bersama dan bersifat standar. Kemampuan manusia menggunakan
simbol suara yang dimengerti bersama memungkinkan perluasan dan penyempurnaan
komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin melalui isyarat fisik aja.
Bagian
penting dari pembahasan Mead adalah hubungan timbal balik antara diri sebagai
objek dan diri sebagai subjek. Diri sebagai objek ditunjukkan oleh Mead melalui
konsep “Me”, sementara ketika sebagai subjek yang bertindak ditunjuknya dengan
konsep “I”.
Mead
memandang diri itu adalah individu yang menjadi objek sosial bagi dirinya.
Menjadi objek sosial bagi dirinya berarti individu itu memperoleh makna-makna
yang diartikan oleh orang lain disekelilingnya. Setelah diri berkembang dengan
sempurna, maka diri itu tidak akan statis. Ia senantiasa akan berubah sesuai
perubahan yang dialami oleh kelompok itu. Hal ini bukanlah satu-satunya dasar
dari perubahan diri. Seperti yang dijelaskan Mead dalam uraiannya mengenai
perbedaan antara “Me” dan “I” sebagai dua fase diri. “Me” itu merupakan
organisasi diri yang biasa dan menurut adat. Ia mengandung sikap orang lain
yang dikelola sebagai panduan bagi tingkah laku orang itu. Oleh karena kita
memasukkan sikap orang lain untuk membentuk kesadaran diri kita sendiri, maka
“me” itu menjadi diri sebagai objek yang kita sadari semasa kita mengingat
kembali tingkah laku kita.[28]
2.6 MASYARAKAT
SEBAGAI INTERAKSI-SIMBOLIS
Masyarakat
merupakan hasil interaksi-simbolis dan aspek inilah yang harus merupakan
masalah bagi para sosiolog.[29]
Bagi Blummer, keistimewaan pendekatan kaum interaksionis simbolis ialah manusia
dilihat saling menafsirkan atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan
bukan hanya saling bereaksi kepada setiap tindakan itu menurut mode
stimulus-respon. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang
lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu.
Blummer menyatakan, “dengan demikian interaksi manusia dijembani oleh
penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh kepastian makna dari
tindakan-tindakan orang lain. Dalam kasus prilaku manusia, mediasi ini sama
dengan penyisipan suatu proses penafsiran diantara stimulus dan respon”.
Interaksionalisme
simbolik menggambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti
sistem, struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisa sosial,
stuktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial,
melainkan dengan memakai istilah “aksi”. Masyarakat, organisasi atau kelompok
terdiri dari orang-orang yang menghadapai keragaman situasi dan masalah yang
berbeda-beda. Situasi-situasi minta ditangani! Masalahnya harus dipecahkan!
Sesuai firasat bersama harus disusun. Maka muncullah suatu gambaran masyarakat
yang dinamis, bercorak serba berubah dan pluralistis. Orang saling berhubungan
satu sama lain dan saling menyesuaikan kelakuan mereka secara timbal-balik.
Mereka “tidak bertindak dengan berpedoman pada suatu kebudayaan, struktur
sosial dan sebagainya, melainkan dengan menghadapi dengan situasi-situasi.[30]
Kita diberi
kesan bahwa Blumer dan sosiolog-sosiolog lain dari kalangan interaksionisme
simbolik tidak perlu mementingkan struktur-struktur. Antara lain, struktur
kekuasaan di dalam masyarakat, yang pada hemat kami amat berpengaruh atas
kelakuan anggotanya, hampir tidak disoroti, sehingga gambaran masyarakat
menjadi agak voluntaristis dan subyektivitis. Mengingat
pengremehan struktur-struktur itu, maka kita boleh bertanya apa yang sebenarnya
mempersatukan masyarakat. Kita telah belajar dari fungsionalisme struktural
bahwa “konsensus”, yaitu kesesuaian paham tentang nilai-nilai dan bentuk-bentuk
tertentu, yang telah dibatinkan dan diungkapkan ke dalam lembaga-lembaga
kemasyarakatan, merupakan semen masyarakat. Bagaimana blumer dan kawan-kawan
menjawab atas soal ini? Bertentangan dengan pengandaian Fungsionalisme
struktural, sosiologi Interaksionalisme simbolik bertitik tolak dari Selfimage
para peserta. Apa yang diinginkan dan diharapkan mereka tidak sama.
Untuk lebih
mempermudah pemahaman terhadap teori ini barangkali ada gunanya dikemukakan
sejumlah ide dasar yang terkandung didalamnya (Poloma, 1987: 267).
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut
saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai
organisasi atau struktur sosial.
2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia lain. Interaksi simbolik mencakup penafsiran tindakan.
3. Objek-objek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan
produk interaksi simbolik. Objek-objek dapat diklasifikasikan kedalam tiga
kategori : objek fisik, objek sosial, objek abstrak.
4. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka dapat melihat
dirinya sebagai objek.
5. Tindakan manusia adalah tindakan interprentatif yang dibuat oleh manusia
sendiri.
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai
organisasi sosial dari prilaku tindakan-tindakan berbagai manusia.[31]
Blumer tidak
mendesak prioritas dominasi kelompok atau struktur, tetapi melihat tindakan
kelompok sebagai kumpulan dari tindakan individu : “Masyarakat harus dilihat
sebagai terdiri dari tindakan orang-orang, dan kehidupan masyarakat terdiri
dari tindakan orang-orang itu”. Blummer melanjutkan ide ini dengan menunjukkan
bahwa kehidupan kelompok yang demikian merupakan respon pada situasi-situasi
dimana orang menemukan dirinya. Situasi tersebut dapat terstruktur, tetapi
Blumer berhati-hati menentang pengabaian arti penting penafsiran sekalipun
dalam lembaga-lembaga yang relatif tetap .[32]
Pada umumnya
suatu masyarakat akan banyak ditandai oleh “orde” daripada “konflik” karena
orang saling membutuhkan demi pemuasan kebutuhan mereka. Sosiolog-sosiolog
interaksionisme simbolik meyambut secara khusus “kebutuhan-kebutuhan sosial”
seperti antara lain kebutuhan agar Self image seseorang senantiasa perlu
diteguhkan oleh orang lain melalui proses interaksi, supaya bertahan. Orang
bergantungan satu kepada yang lain, hal mana menjadi nyata dalam proses-proses
interaksi. Jadi kebutuhan dan ketergantungan merupakan semen masyarakat.[33]
Masih timbul
soal tentang faktor-faktor manakah diperlukan supaya proses pemersatuan atau
kohesi akan dapat berjalan dengan lancar. Dahulu Mead sudah menjawab bahwa
prasyarat utama adalah dimilikinya sejumlah simbol-simbol yang dibagi bersama
oleh semua peserta dalam interaksi. Orang harus berkomunikasi supaya dapat
berinteraksi lebih lanjut. Orang harus berpegang pada suatu minimum
definisi-defisini situasi, yang kurang lebih lama. Harus ada suatu perspektif
bersama menghasilkan bahwa para peserta memperoleh pandangan kurang lebih sama
mengenai situasi dan peranan mereka masing-masing. Jadi harus ada suatu
konsensus atau kebersatuan kultural, supaya proses-proses dapat berjalan.[34]
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Teori ini
berkembang pertama kali di universitas Chicago, dan dikenal dengan mahzab
Chicago. Namun, tokoh utamanya dari teori ini berasal dari berbagai universitas
di luar Chicago, di antaranya John dewey dan C.H Cooley, yaitu seorang filsuf
yang semula mengembangkan teori interaksi simbolik di Universitas
Michigan-kemudian pindah ke Chicago dan banyak memberi pengaruh kepada W.I
Thomas dan G.H Mead.
Sebagai
pencetus teori interaksionisme simbolik, George Herbert Mead pada awalnya
memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku.
Para mahasiswanyalah yang, setelah kematian Mead, kemudian menerbitkan
pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku yang berjudul Mind, Self, and Society.
Herbert Blumer teman sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya
sebagai teori interaksionisme simbolik.
Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan
orang bertindak menurut cara-cara yang khas dilakukan manusia. Karena simbol,
manusia “tidak memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang memaksakan
dirinya sendiri, tetapi secara aktiv menciptakan dan mencipta ulang dunia
tempat mereka berperan”. Simbol
memungkinkan kita membayangkan realitas metafisik, seperti surga dan neraka.
Simbol memungkinkan aktor mendahului waktu, ruang
dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, aktor dapat
membayangkan seperti apa kehidupan dimasa lalu atau seperti apa kemungkinan
hidup dimasa depan.
Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk
memahami lingkungan. Daripada dibanjiri oleh banyak stimuli yang tak dapat
dibeda-bedakan, aktor dapat berjaga-jaga terhadap bagian lingkungan tertentu
saja ketimbang terhadap bagian lingkungan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Wirawan . I.B, 2013, Teori-Teori Sosial
dalam tiga paradigma, cet ke-2, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Winangsih Syam. Nina, 2012, Sosiologi
sebagai akar ilmu komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Ritzer George dan Douglas J. Goodman, 2012,
Teori Sosiologi Modern, terjemahan dari Modern Sociological Theory,
terj oleh Alimandan, cet ke-8, Jakarta:
Fajar Interpratama Offset.
Baut. Paul S dan T. Effendi, 1986,
Teori-teori sosial Modern dari Parsons sampai Habermas, terj : Modern
Society Theory : From Person to Herbermas, Cet ke-1, Jakarta : Rajawali,.
Poloma. Margaret M., 2007, Sosiologi
Kontemporer, terj dari : contemporery Sociological Theory oleh: Yasogama,
Jakarta : PT.Grafindo Persada.
Veeger. K.J, 1990, REALITAS SOSIAL (refeleksi filsafat sosial
atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sosiologi), cet ke-3,
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Poloma Margaret, 2000, Sosiologi Kontemporer,
Jakarta; Raja Grafindo persada.
[1]Prof. Dr. I.B. Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam
tiga paradigma, cet ke-2, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013,Hlm.
109-110.
[3]Prof. Dr. Hj. Nina Winangsih Syam, Dra., M.S, Sosiologi
sebagai akar ilmu komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2012.
Hlm. 48.
[4]George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern, terjemahan dari Modern Sociological Theory, terj
oleh Alimandan, cet ke-8, Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2012, Hlm. 266.
[14]Paul S. Baut dan T. Effendi, Teori-teori sosial
Modern dari Parsons sampai Habermas, terj : Modern Society Theory : From
Person to Herbermas, Cet ke-1, Jakarta : Rajawali, 1986. Hlm. 113.
[16] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj
dari : contemporery Sociological Theory oleh: Yasogama, Jakarta :
PT.Grafindo Persada, 2007. Hlm. 260.
[30]K.J. Veeger M. A. REALITAS SOSIAL (refeleksi
filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sosiologi),
cet ke-3, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990. Hlm. 228.
[31] Drs. Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan,
cet ke-1, Jakarta : PT. DUNIA PUSTAKA JAYA, 1995.Hlm. 49-50.
0 Comments
Terima Kasih telah berkunjug ke Artikel Saya, Silahkan Komnetar di Halaman bawah ini. Jadilah Pengutip yang Baik.