MAKALAH PENDIDIKAN PADA ZAMAN BANI UMAYYAH

PEMBAHASAN
PENDIDIKAN PADA ZAMAN BANI UMAYYAH

A.     SITUASI POLITIK, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN

Kekhalifahan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan[1] pada tahun 41 Hijriah dan berakhir pada tahun 132 H. Dengan demikian, Bani Umayyah berkuasa lebih kurang 91 tahun. Para ahli sejarah umumnya mencatat, bahwa proses berdirinya kekhalifahan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak melalui pemilihan secara demokrasi berdasarkan suara terbanyak[2]. Nama-nama khalifah Bani Umayyah yang tergolong menonjol adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680), Abd al-Malik ibn Marwan(685-705 M), al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz(717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Maalik (724-743 M).

Masa kekhalifahan Bani Umayyah selain banyak diisi dengan program-program besar, mendasar, dan strategis, juga banyak melahirkan golongan dan aliran dalam islam, serta perkembangan ilmu agama, ilmu umum, kebudayaan, dan peradaban[3].

Diantara program besar, mendasar dan strategis di zaman Bani Umyyah adalah perluasan wilayah Islam. Di zaman Muawiyah Tunisa dapat ditaklukan. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Axus dan Afghanistan hingga ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana, dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punyab sampai ke Maltan.

Selanjutnya ekspensi secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman al-Walid bin Abdul Malik. Sejarah mencatat bahwa masa pemerintahan al-Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran, kertiban, dan kebahagiaan[4]. Pada masa pemerintahan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun itu tercatat suatu ekpedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya, Benua Eropa yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Maroko dapat ditundukan Tariq bin Ziyad pemimpin pasukan islam menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua Erofa, dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal dengan Gibraltal. Tentara Spanyol dapat dikalahkan dan dengan demikian ibu kota Spanyol Kordofa dengan cepat dapat dikuasai begitu juga dengan kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo. Di zaman Umar bin Abd Al-Aziz, perluasan wilayah dilanjutkan ke Perancis melalui pegunungan Piranee, dibawah Komandan Abd al-Rahman Ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Boredeau, Politiers, dan terus ke Tours. Naamun dalam peperangan yang terjadi dikota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.

Melalui berbagai keberhasilan ekspansi tersebut, maka wilayah kekuasaan Islam di zaman Bani Umayyah, di samping Jazirah Arabia dan sekitarnya, juga telah menjangkau Spanyol, Afganistan, Pakistan, Turkemenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah[5].
Dibidang sosial dan pembangunan, Bani Umayyah berhasil mendirikan berbagai banguanan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang qadli  adalah seorang spesialis dibidangnya. Abd. al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai didaerah–daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak mata uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Administrasi pemerintahan Islam. Selanjutnya dizaman al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715) seorang yang berkemauan keras dan berkemampaun melaksanakan pembangunan panti-panti untuk orang cacat yang para petugasnya digaji oleh negara. Selain itu, al-Walid juga membangun jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik, gedung pemerintahan, dan masjid yang megah.

Dalam bidang keagamaan, pada masa Bani Umayyah ditandai dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang bercorak politik ideologis. Mereka itu antara lain golongan Syi’ah, Khawarij dengan berbagai sektenya: Azariqah, Najdat Aziriyah, Ibadiyah, Ajaridah dan Shafariyah, golongan Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariyah, Qadariyah, dan Jabariyah[6]. Berbagai aliran dan golongan keagamaan ini terkadang melakukan gerakan dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Dengan terbunuhnya Husein di Karbela, perlawanan orang-orang Syi’ah tidak pernah padam. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah. Yang terkenal diantaranya pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Selain itu, terdapat pula gerakan Abdullah bin Zubair. Ia membina gerakan oposisinya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh.

Selain  gerakan diatas, gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi’ah juga dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan itulah yang membuat orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah kekuasaan diwilayah timur yang meliputi kota disekitar Asia Tengah dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol.

Situasi politik, sosial, dan keagamaan mulai membaik terjadi pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abd. Al-Aziz ( 717-720). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya[7]. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannyas sangat singkat, Umar ibn Abd. Al-Aziz dapat dikatakan berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberikan kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan dan kedudukan Mawali (umat Islam yang bukan keturunan Arab, berasal dari Persia, dan Armenia), disejajarkan dengan Muslim Arab
B.     KEADAAN PENDIDIKAN
Pada uraian tentang situasi politik, sosial, dan keagamaan dizaman bani Umayyah sebagaimana disebut di atas belum menyinggung secara langsung maupun tidak langsung masalah pendidikan. Namun dari kajian terhadap berbagai literatur lainnya dapat diketahui bahwa situasi politik, sosial, dan keagamaan memiliki kaitan yang erat dengan masalah pendidikan. Adanya wilayah yang luas dan penduduk yang makin besar selain membutuhkan sandang, pangan, dan papan, juga membutuhkan keamanan, kesehatan, dan pendidikan. berbagai sumber menyebutkan keadaan pendidikan di zaman bani Umayah sebagai berikut:
1.         Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran
Visi pendidikan di zaman bani Umayyah secara eksplisit tidak dijumpai. Namun dari berbagai petunjuk bisa diketahui bahwa visinya adalah unggul dalam ilmu agama dan umum sejalan dengan kebutuhan zaman dan masing-masing wilayah Islam[8].
Adapun misinya antara lain[9]:
a.         Menyelenggarakan pendidikan agama dan umum secara seimbang,
b.        Melakukan penataan kelembagaan dan aspek-aspek pendidikan Islam,
c.         Memberikan pelayanan pendidikan pada seluruhg wilayah Islam secara adil dan merata,
d.        Menjadikan pendidikan sebagai penopang utama kemjuan wilayah Islam,
e.         Memberdayakan masyarakat agar dapat memecahkanb masalahnya sesuai dengan kemampuanya sendiri.
Adapun tujuannya ialah menghasilkan sumber daya manusia yang unggul secara seimbang dalam ilmu agama dan umum serta mampu menerapkannya bagi kemajuan wilayah Islam[10].
Sedangkan yang menjadi sasarannya adalah seluruh umat atau warga yang terdapat di seluruh wilayah kekuasaan Islam, sebagai dasar bagi dirinya dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Visi, misi, tujuan, dan sasaran pendidikan tersebut di atas, secara eksplisit atau tertulis tentu belum ada. Namun dari segi kebijakannya secara umum serta hasil-hasil yang dicapai oleh dinasti ini mengandung visi, misi, tujuan, dan sasaran tersebut di atas.
Sejarah mencatat, bahwa pada masa dinasti Umayyah telah dilakukan hal-hal sebagai berikut[11]:
a.         Melakukan pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik, sehingga terjadi semacam dikotomi, namun bukan dalam hal ilmu agama dan ilmu umum.
b.        Melakukan pembagian kekuasaan kedalam bentuk provinsi, yaitu Syiria dan Palestina, Kuffah, Irak, Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd, Yamah, Armenia, Hijaz, Karman dan India, Mesir, Afrika, Yaman, Arab Selatan, serta Andalusia.
c.         Membentuk organisasi dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam bentuk departemen, seperti dewan al-Kahawarij yang mengurusi pajak, dewan rasail yang mengani pos, dewan musghilat yang menangani kepentingan umum, dan dewan al-hatim yang menangani dokumen negara.
d.        Membentuk organisasi keuangan yang terpusat pada Baitul Mal yang diproleh dari pajak tanah, perorangan, dan nonmuslim, serta mencetak mata uang.
e.         Membentuk organisasi ketentaraan yang umumnya terdiri dari orang-orang keturunan Arab.
f.             Membentuk organisasi kehakiman
g.        Membentuk lembaga sosial dan budaya
h.        Membentuk bidang seni rupa seperti seni ukur, seni pahat, dan kaligrafi.
i.              Membentuk lembaga arsitektur, sebagaimana terlihat pada arsitektur kubah al-Sakhra di Baitul Maqdis, yaitu kubah batu yang didirikan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan pada tahun 691 M.
Terjadinya berbagai kemajuan tersebut dipastikan karena didukung oleh tersedianya sumber daya manusia yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan, keterampilan, keahlian teknis, dan pengalaman yang dihasilkan melalui proses pendidikan dalam arti luas. Sejarah mencatat, bahwa disamping melakukan ekspansio teritorial, pemerintahan dinasti Umayyah jugamenaruh perhatian dalam bidang pendidikan. memberikan dorongan yang kuat terhadap kemajuan dunia pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para ilmuan, para seniman, para ulama dapat mengembangkan bidang keahliannya masing-masing serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.
2.         Kurikulum
Pada masa bani Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu pendidikan khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan yang dislenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan anak-anak pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan, atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahan. Tempat pendidikannya di istana dan guru-gurunya ditunjuk dan diangkat oleh khalifah dengan mendapat jaminan hidup (gaji). Sedangkan pendidikan khusus adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi rakyat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksakan sejak zaman Nabi masih hidup, ia merupakan sarana yang amat penting bagi kehidupan agama. Karena ia merupakan lanjutan dari pendidikan sebelumnya, maka kurikulum yang digunakan pun sama dengan kurikulum sebelumnya. Yang bertanggungjawab atas kelancaran pendidikan ini adalah para Ulama, merekalah yang memikul tugas mengajar dan membimbing rakya. Mereka bekerja atas dasar dorongan moral serta tanggung jawab agama, bukan atas dasar penunjukkan dan pengangkatan oleh pemerintahan. Karena itu mereka tidak memperoleh jaminan (gaji) dari pemerintah.
Kurikulum pendidikan pada dinasti Umayyah meliputi[12]:
a.         Ilmu agama: al-Qur’an, Hadits, dan Fiqih. Sejarah mencatat, bahwa pada masa khalifah Umar ibn Abdul al-Aziz (99-10H) dilakukan proses pembukuan hadits, sehingga studi hadits mengalami perkembangan yang pesat.
b.        Ilmu sejarah dan Geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah dan riwayat.
c.         Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, sorof.
d.        Filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umunya berasal dari baha asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronimi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan ilmu kedokteran.

3.         Kelembagaan
Lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada zaman bani Umayyah, selaibn masjid, kuttab, dan rumah sebagaiman yang telah ada sebelumnya, juga ditambah dengan lembaga pendidikan seperti Istana, Badiah, Perpustakaan, Al-Bimaristan, Kuttab, Masjid, dan Majelis Sastra[13].
a.         Istana
Pendidikan di Istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan umum, melainkan juga mengajarkan tentang kecerdasan, jiwa, dan raga anak.
b.        Badiah
Lembaga pendidikan Badiah ini muncul seiring dengan kebijakan pemerintah bani Umayyah untuk melakukan program arabisasi yang digagas oleh khalifa Abdul Malik ibn Marwan. Secara harfiah Badiah artinya dusun badui di Padang  Sahara yang didalamnya terdapat bahasa Arab yang masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
c.         Perpustakaan
Perpustakaan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta kegiatan penelitian dan penu;isan karya ilmiah. Pada pendidikan dan pengajaran yang berbasis penelitian, perpustakaan memgang peranan yang sangat penting. Ia menjadi jantung sebuah lembaga pendidikan.

d.        Al-Bimaristan
Al-Bimaristan adalah rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta sekaligus berfungsi sebagai tempat melakukan magang dan penelitian bagi calon dokter. Di masa sekarang Al-Baristan dikenal dengan istilah Teaching Hospital (rumah sakit pendidikan).
e.         Kuttab
Anak memerlukan pendidikan dan pelajaran yang lebih intensif agar memperoleh hasil yang diharapkan, tertib dan teratur. Cara demikian ini tidak mungkin dilakukan dirumah. Karena itu diperlukan tempat dan ruang khusus di luar rumah.
Menempatkan anak-anak belajar di masjid, akan menimbulkan kegaduhan orang lain yang sedang melaksanakan ibadahnya. Selain itu kebersihan mesjid pun tidak terjamin. Sifat daripada anak-anak adalah aktif selalu bergerak tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya.
Jalan keluar dari kesulitan ini adalah mendirikan ruangan khusus di luar rumah dan di luar ruangan masjid. Tempat belajar anak-anakn ini kemudian disebut kuttab.
Dalam perkembangan selanjutnya, kuttab ini mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan bentuk serta sistem organisasinya. Akan tetapi bentuk kuttab yang pertama masih tetap menjalankan fungsinya yang semula, dengan guru-gurunya terdiri dari orang-orang dzimmi yang melulu mengajar menulis dan membaca. Kuttab ini mulai muncul pada zaman al-Hajjaj ibn Yusuf Ats-tsaqafi. Dalam kuttab ini anak-anak mulai menghafal al-Qur’an secara teratur, karena ia merupakan sumber kehidupan keagaman dan dasar pembinaan yang dibutuhkan oleh setiap muslim. Menurut Prof, Dr, A Salabi “Kuttab dari jenis ini sebagai suatu rumah perguruan untuk umum, adalah hasil perkembangan dari pendidikan putera raja-raja dan pembesarnya.
f.             Masjid
Mesjid sangat erat hubungannya dengan sejarah pendidikan Islam, ia merupaka n suatu lembaga pendidikan Islam sejak awal dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. dari mesjid ini dikumandangkan seruan iman, taqwa, akhlaq dan ajaran-ajaran kemasyarakatan; baik yang berhubungan dengan individu kenegaraan maupun yang berhubungan dengan sosial ekonomi dan sosial budaya yang adil dan beradab serta diridhai Allah Swt.
Peranan mesjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi  setiap orang yang merasa dirinya mampu dan cakap untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang yang hasus akan ilmu pengetahuan. Setelah pelajaran anak-anak di kuttab berakhir, mereka melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah yang dilakukan di masjid.
Dalam mesjid terdapat dua tingkatan sekolah; tingkat menengah dan tingkat perguruan tinggi. Pelajaran yang diberikan dalam tingkat menengah dilakukan secara perorangan. Sedang pada tingkat perguruan tinggi dilakukan secara halaqah, murid duduk bersama mengelilingi gurunya yang memberikan pelajaran kepada mereka. Ditingkat menengah diberikan mata pelajaran al-Quran dan Tafsir, Hadits dan Fiqih. Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi diberikan pelajaran Tafsir, Hadits, Fikih, dan Syari’at Islam.
g.        Majelis Sastra
Majelis sastra adalah perkembangan dari mesjid yang biasa dilakukan oleh para khulafaur rasyidin bersama para sahabat lainnya untuk bermusyawarah dan diskusi tentang masalah-masalah yang memerlukan pemecahan secara tuntas. Dalam majelis ini para sahabat mempunyai kebebasan yang penuh dalam mengemukakan kritikan-kritikan dan pendapat mereka.
Musyawarah dan diskusi mengandung unsur pendidikan yang meliputi pengunaan dan pengendalian akal pikiran serta perasaan dan tata tertib berdasarkan ketentuan-ketentuan atau dalil-dalil yang berlaku. Selain itu dalam majelis ini juga terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan, permasalahan yang dikemukakan dan hasil pemecahannya kepada peserta.
4.         Pendidik
Pendidik adalah seorang yang tugasnya selain mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik, juga menumbuhkan, membina, dan mengembangkan bakat, minat, dan segenap potensi yang dimiliki peserta didik, sehingga menjadi aktual dan terberdayakan secara optimal.
5.         Sarana dan Prasarana
Sarana dapat diartikan sebagai sesuatu yang secara langsung maupun tidak langsung dapat digunakan dalam mendukung terlaksananya berbagai kegiatan. Dalam kegiatan pendidikan, sarana yang diperlukan antara lain gedung sekolah, perpustakaan, tempat praktikum, sumber-sumber bacaan, peralatan laboratorium, peralatan praktikum, peralatan belajar mengajar seperti papan tulis, meja, dan kursi untuk guru dan murid, alat-alat tulis, gambar, peta, LCD, dan operhead projektor (OHP). Adapun yang termasuk prasarana antara lain halaman mssjid, lapangan olahraga, tempat parkir, tempat istirahat, kantin, tempat pembayaran spp, tempat pelayanan kesehatan, tempat pertunjukan kesenian, tempat pameran dan toko buku.

6.         Pembiayaan
Pembiayaan pendidkan diartikan sebagai usaha menyediakan sumber dana, sistem pengelolahan dan penggunaannya untuk berbagai kegiatan, termasuk pendidikan. pembiayaan diperlukan untuk mengadakan atau membeli segala hal yang dibutuhkan untuk pendidikan, seperti untuk membangun gedung sekolah, perpustakaan, dan lain-lain.
7.         Pengelolahan
Pengelolahan pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi, membina, dan menilai hal-hal yang berkaitan dengan seluruh aspek pendidikan: kurikulum, proses belajar mengajar, hasil pembelajaran, kinerja para guru dan  staf pelayanan administrasi pendidikan, dan respon masyarakat merupakan suatu yang dinamis dan mudah di[engaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan.
8.         Lulusan
Para lulusan pendidikan dapat diartikan mereka yang telah tamat mengikuti pendidikan pada jenjang tertentu yang selanjutnya mendapat gelar atau sebutan yang menunjukkan keahliannya, dan memiliki otoritas atau kepercayaan untuk mengajarkan ilmunya. Para lulusan pendidikan di zaman bani Umayyah ini terdiri dari para tabi’in, yaitu mereka yang hidup dan berguru kepada para sahabat nabi, atau generasi kedua setelah sahabat. Dengan demikian, hubunga mereka dengan Rasulullah terletak pada hubungan mision, gagasan, cita-cita, dan semangat, dan bukan pada hubungan persahabatan atau perkawanan. Diantara para tabi’in tersebut, walaupun tidak sempat berjumpa dan berguru dengan Nabi Muhammad Saw, namun visi, misi, tujuan perjuangannya tidak berbeda dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, bahkan diantara para tabi’in tersebut ada yang masih memiliki keturunan dengan Nabi Muhammad Saw.
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keadaan pendidikan pada masa kekuasaan bani Umayyah sudah lebih berkembang dibandingkan pada zaman Khulafur Rasyidin. Perkembangan pendidikan tersebut yang paling menonjol adalah pada aspek kelembagaan dan ilmu yang diajarkan. Pada aspek kelembagaan telah muncul dan berkembang lembaga pendidikan baru, yakni istana, badiah, perpustakaan, dan bimaristan. Adapun ilmu yang diajarkan bukan hanya bidang agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu umum. Namun demikian, ilmu-ilmu agama masih dominan dibandingkan dengan ilmu umum. Adapun bila kita lihat dari segi sistemnya masih bersifat sederhana dan konvensional, dan belum dapat disamakan dengan sistem pendidikan yang sudah berkembang seperti pada saat ini.
Perkembangan pendidikan yang demikian itu karena dipengaruhi oleh situasi politik, sosial, dan keagamaan yang secara keseluruhan belum mendukung kegiatan pendidikan. secara politik, masa bani Umayyah yang berlangsung lebih kurang 90 tahun terlalu banyak digunakan untuk melakukan perluasan wilayah serta meredam berbagai gejolak dan pemberontakan.

B.       KRITIK DAN SARAN
Ada sebuah pepatah yang mengatakan “tidak ada gading yang tak retak”. Karena itulah penulis senantiasa menyadari bahwa begitu banyak kekurangan- kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam makalah ini. Maka dari pada itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian agar kedepannya penulis bisa berusaha menjadi lebih baik lagi.



[1]       Muawiyah nama lengkap Muawiyah bin Abi Sufyan ibn Harb ibn Umayyah ibn Abd. Syam ibn Abd. Manaf. Ia dilahirkan kira-kira pada tahun 15 sebelum hijrah dari seorang ibu yang bernama Hindun binti Urtbah ibn Rabiah ibn Abd Syam ibn Abd Manaf.
[2]       Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setiah terhadap anaknya,Yazid.
[3]       Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana), hlm: 127
[4]       Pada masa kekuasaan al-Walid bin Abd Malik kekayaan dan kemakmura meimpah ruah. Disamping itu, ia menggunakan kekayaan negaranya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin dan penderita cacat. Lihat Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah), hlm: 125-126
[5]       Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah), hlm: 127-128
[6]       Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa), hlm: 93-130
[7]       Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Perss, 2011), hlm: 43
[8]       Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana), hlm: 131
[9]       Ibid, hlm:131- 132
[10]     Ibid, hlm: 132
[11]      Ibid, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Perss, 2011), hlm: 48-49
[12]      Ibid, Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana), hlm: 134-135
[13]      Ibid, Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana), hlm: 135-137, dan Ibid, Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa), hlm: 78-82

Post a Comment

0 Comments