Filsafat dan Metodologi Pemikiran Islam



Banyak kalangan yang telah salah faham tentang filsafat Islam, ia masih sering dilihat dari aspek sejarahnya disamping sedikit kajian metafisika. Hal tersebut tidak hanya terjadi dikalangan pesantren di Indonesia dan Madrasah di Pakistan yang memang masih diselimuti trauma-filsafat, namun juga di berbagai perguruan tinggi Islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin Abdullah (kata pengantar dalam Wacana Baru Filsafat Islam:2003) hal serupa juga saya rasakan di IIU Islambad, kajian filsafat masih banyak terfokus pada aspek historis tanpa ada perhatian berarti terhadap aspek metafisika, etika, estetika dan terutama logika dan epistemologi. Akibatnya –menurut saya- dengan hal tersebut kajian filsafat Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti. Yang dimaksud dengan filsafat Islam sesungguhnya bukan sekedar bahasan tentang ismeisme atau aliran-aliran pemikiran apalagi sekedar uraian panjang lebar tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam beserta tokoh-tokohnya, tapi lebih merupakan bahasan tentang proses berfikir. Filsafat adalah metode berfikir, yaitu berfikir kritis analitis dan sistematis. Filsafat lebih mencerminkan 'proses' berfikir dan bukan sekedar 'produk' pemikiran. Dalam hal ini Fazlur Rahman menegaskan bahwa filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Ia harus berkembang secara alamiah, baik untuk filsafat itu sendiri maupun disiplin ilmu yang lain. Hal ini dapat difahami karena filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu melahirkan ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting bagi ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu agama dan teologi. Oleh karena itu orang yang menjauhi filsafat telah melakukan bunuh diri intelektual (Fazlur Rahman, Islam and Modernity : 1982) Kelesuan berfikir dan berijtihad dikalangan umat Islam sampai saat ini, salah satunya disebabkan oleh keengganan mereka dengan filsafat. Bahkan, menurut Al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua khazanah inelektual Islam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan (Bunyah al Aql al Araby:1990). Karena itu kita tidak boleh lagi berpaling dan menghindar dari filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit untuk menjelaskan identitasnya dalam lingkungan dunia global. Namun filsafat yang saya maksud disini bukan hanya sekedar uraian sejarah dan tokoh-tokohnya yang merupakan 'produk' pemikiran, melainkan lebih pada sebuah metodologi atau epistemologi.
Metodologi Bayani, 'Irfani dan Burhani
Dalam khazanah filsafat Islam dikenal tiga buah metodologi pemikiran, bayani, 'irfani, burhani. Bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan atas teks. Teks suci al qur'anlah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran, sedangkan rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut. 'Irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik 'irfani adalah bagian esoteris (batin) teks, karena itu, rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut. Sedangkan burhani adalah metodologi yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar runtutan nalar logika, bahkan dalam tahap tertentu, teks dan pengalaman hanya bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan aturan logis. Masing-masing dari ketiga model metodologi berfikir tersebut dalam lembaran sejarah telah menorehkan prestasinya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh dan teologi (ilmu kalam), irfani menelurkan teori besar dalam sufisme dan burhani telah membawa filsafat kepada puncak kegemilangannya. Namun bukan berarti ketiga metodologi tersebut bebas cacat. Kelemahan bayani adalah ketika berhadapan dengan teks yang berbeda milik komunitas atau bangsa lain. Karena otoritas terletak ditangan teks sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh komunitas lain, maka pada saat berhadapan dengan pertentangan tersebut nalar bayani biasanya cenderung mengambil sikap dogmatik, defensif dan apologetik, ia demikian tertutup sehingga kadang sulit untuk bisa diajak berdialog yang sehat. (untuk lebih lanjut lihat Farid Esack, Qur'an, Liberation and Pluralism: 2006). Sedangkan dalam metode 'irfani bisa lihat dari ter'baku'kannya term-term semisal ilham, kasyf dan dlamir dalam tarekat-tarekat dengan berbagai wiridnya. Hal inilah yang kemudian dikritk oleh Fazlur Rahman sebagai religion within religion (Islam:1979) sementara itu, metode burhani, meskipun ia rasional tapi masih lebih berdasar pada model pemikiran induktif-deduktif. Kedua metode tersebut sangat tidak memadai dalam perkembangan pemikiran kontemporer. (al Mantiq al Aristhi kama Shawwarahu al Ghazali: 1980) Melihat kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masing-masing metodologi tidak bisa digunakan secara mandiri untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Untuk mencapainya. Ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah jalinan sirkuler. Maksudnya, ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'shalih li kulli zaman wa makan', Islam yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmuilmu kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perngembangan keilmuan Islam ke depan

Sumber: http://id.scribd.com/doc/99205312/Filsafat-Dan-Metodologi-Pemikiran-Islam

Post a Comment

0 Comments