AL-IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM YANG KETIGA

AL-IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM YANG KETIGA
 








DI SUSUN
O
L
E
H

KELOMPOK IX
          Miki Armada                                     (11210115)
          Muhammad Catur Rinaldi              (11210119)
          Muhammad Zulkhoiri                      (11210128)
                                             
DosenPembimbing
Ustd Idrus Rofiq
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2012
                                          KATA PENGANTAR       


Bismillahhirrahmanirrahim

Puji syukur kahadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang namanya populer dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad Saw. yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya islam dan iman.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Ushulfiqh yang telah banyak memberikan dorongan agar terselesainya penyusunan makalah ini dan juga kepada teman-teman sekalian yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan makalah ini.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa salam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga penulis makalah ini sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat pada penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Aamiin ya rabbal ‘alamin................







Ttd


Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

1.             Latar Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits). ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam yang tidak mengakui adanya Ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Terkait dengan Ijma’ ini masih banyak komunitas lain yang diantaranya, sebagian mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri, maka dari itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.

2.             Rumusan Masalah
Ø Pengertian Ijma’.
Ø Syara-syarat Ijma’.
Ø Macam-macam Ijma’.
Ø Kemungkinan terjadinya Ijma’.
Ø Kehujjaan Ijma menurut pandanga ulama’.
Ø Ulama yang berhak membentuk Ijma’.
Ø Sandaran (sanad) Ijma’.

3.             Tujuan
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami landasan hukum islam seperti Ijma’ yang telah disepakati oleh para mujtahit yang dijadikan sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN

IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM KETIGA DALAM ISLAM

1.             Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ulama ijtihad Umat Nabi Muhammd Saw, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).
Pada masa Rasulullah Saw. masih hidup, tidak pernah dikatakan Ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur berikut:
o  Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (Ijma’) tidak mungkin ada kalau tidak ada sejumlah ulama mujtahid, yang masing-masing mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
o  Bila ada kesepakatan para ulama mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka.
Jadi, kalau ulama mujtahid Makkah, Madihan, Irak, Hijaz saja umpamanya yang sepakat terhadap suatu hukum syara’ tidak dapat dikatakan Ijma’ menurut syara’ kalau bersifat regional. Tetapi harus bertahap internasional. Masalah mungkin terjadi Ijma’ atau tidak, lain lagi persoalannya, karena ada diantara ulama’ yang mengatakan mungkin dan ada pula yang mengatakan tidak mungkin.
o  Kesepakatan semua ulama mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggapIjma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
o  Kesepakatan para ulama mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.
Dengan demikian, tampak bahwa Ijma’ mempunyai kedudukan yang penting dalam ijtihad.

Dalil yang menjadi dasar Ijma’ adalah firman Allah Swt yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&ur͐öDF{$#óOä3ZÏB(.............
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan kepada “ulil amri” (orang-orang yang berkuasa) di antara kamu”. (Q.S.an-Nisa: 59)

Perkataan “ulil amri” yang terdapat dalam ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan aama ialah para ulama mujtahid. Dari ayat diatas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang suatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Juga fiman Allah Swt yang berbunyi:
(#qßJÅÁtGôã$#urÈ@ö7pt¿2«!$#$YèÏJy_Ÿwur..............(#qè%§xÿs?
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,”. (Q.S.al-Imran: 103)

Juga berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi Saw Muadz bin Jabal ketika ia hendak diutus ke Yaman yang berbunyi:
عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلِ اَنَّ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّ بَعَثْهُ اِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ: كَيْفَ تَقْضِيْ اِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟، قَالَ: اَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ، قَالَ: فَأِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ كِتَابِ اللهِ؟، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟، قَالَ: أَجْتَهِدُرَأْيِ وَالاآلُوْ، فَضَرَبَ رَسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ: أَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ وَفْقَ رَسُوْلَ رَسُوْلَ اللهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِيْ رَسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Dari Mu’adz bin Jabbal r.a. bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “bagaimana kamu jika dihadapkan pada permasalahan hukum?”, ia berkata: “saya akan berhukum dengan kitab Allah”, Nabi berkata; “jika tidak terdapat dalam kitab Allah?”, ia menjawab: “saya akan berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”, Nabi berkata: “jika tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah Saw ?”, ia berkata: “saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”, maka Rasulullah Saw. memukul ke dada Mu’adz dan berkata: “segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Mu’adz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw.””

Serta sabda Nabi Saw yang berbunyi:
مَارَأَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Artinya:“Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah Swt. juga baik”. (HR.Ibn Ahmad)

Juga sabda Rasulallah Saw. yang berbunyi:
لاَتَجْتَمِعُ اُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَ لَةٍ
Artinya:“Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.

Demikian juga sabda Rasulallah Saw yang diriwayatkan oleh Umar r.a, yang berbunyi:
اَلاَ فَمَنْ سَرَّهُ بَحْبَحَةَالْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةً فَأِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْفَذِّ وَهُوَ مِنَ الأِثْنَيْنِ اَبْعَدُ
Artinya:“ingatlah, barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jama’ah. Ia akan lebih jauh dari dua orang, daripada dari seseorang yang menyendiri”.

2.             Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi Ijma’ di atas dapat diketahui bahwaIjma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini:
a.    Yang bersepakat adalah para ulama mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah ulama mujtahid.
Secara umumulama mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud ulama mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud ulama mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu mengistimbatkan hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat ulama mujtahid tidak bisa dikatakanIjma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
b.    Yang bersepakat adalah seluruh ulama mujtahid.
Bila sebagian ulama mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan Ijma’. Karena Ijma’ itu harus mencakup keseluruhan ulama mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa Ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar ulama mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan Ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
c.    Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan Ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’, adapun Ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
d.   Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap sebagai syariah.
e.    Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.

3.             Macam-Macam Ijma’
1)   Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
Ø Ijma’ Sharih; Yaitu para ulama mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing ulama mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.

Ø Ijma’ Sukuti: Sebagian ulama mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.


2)   Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu Ijma’, terbagi menjadi dua, yaitu:
Ø Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan Ijma’ itu adalah qath’i dan diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapka berbeda dengan hasil Ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Ø Ijma’ dzanni, yaitu hukum yang dihasilkan Ijma, itu adalah dzanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil Ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.

3)   Ditinjau dari segi masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakan terbagi menjadi lima, yaitu:
Ø Ijma’ sahabat, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Saw
Ø Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib
Ø Ijma’ shaikhan, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab
Ø Ijma’ ahli Madinah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ ini merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut mazhab Maliki, tetapi tidak menurut mazhab Syafi’i
Ø Ijma’ ulama Kuffah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kuffah. Mazhab Hanafi menjadikan Ijma’ ini sebagai salah satu sumber dalam hukum Islam

4.             Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanyaIjma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “Ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam menyatakan, Ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya Ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
o  Mengetahui karakter setiap ulama mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakanIjma’.
o  Mengetahui pendapat masing-masing ulama mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua,Ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang dzhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan Ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzhanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing ulama mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka.

5.             Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa Ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
1.    Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad Saw. tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah Swt. juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.
Imam Syafi’i meriwayatkan sebuah atsar, bahwa khalifah Umar Ibn Khattab r.a. suatu hari memberikan khutbah di Syam, kemudian beliau berkata sebagai berikut:
اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَامَ فِيْنَا كَمَقَامِيْ فِيْكُمْ فَقَالَ: اَكْرِمُ الصَّحَابِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ يَظْهَرُالْكِذْبَ حَتَّى اَنَّ الرَّجُلَ يَحْلِفُ وَلاَيُسْتَحْلِفُ وَيَشْهَدُوَلاَيُسْتَشْهَدُاَلاَفَمَنْ سَرَّهُ بَحْبَحَةُالْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ فَأِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْفَذِّوَهُوَمِنَ الْأِثْنَيْنِ اَبْعَدُ وَلاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْزَأَةٍ فَأِنَّ الشَّيْطَانَ ثَلِثُهُمَ وَمَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَةٌ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَةٌ فَهُوَمُؤْمِنٌ
Artinya: “(suatu ketika) Rasulallah Saw berdiri dihadapan kami (para sahabat) sebagaimana saya berdiri dihadapan kalian. Kemudian beliau bersabda: “golongan yang paling mulia adalah para sahabatku, kemudian generasi sesudahnya (tabi’in), kemudian generasi sesudahnya (tabi’it tabi’in). Setelah generasi itu, maka muncullah kebohongan, sehingga ada seseorang yang bersaksi, padahal ia tidak diminta menjadi saksi. Ingatlah barangsiapa yang ingin masuk surga, maka ikutilah para jama’ah, karena syaithan itu bersama orang yang menyendiri, dan ia akan lebih jauh kepada dua orang (dibanding hanya seorang). Jika ada dua sejoli (seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan suami istri, dan bukan mahram) bersepi-sepi, maka syaithanlah teman yang ketiga. Barangsiapa bergembira atas kebaikannya, dan bersedih atas kejelekan perbuatannya, maka ia adalah seorang mukmin yang sejati”
Yang dimaksud dengan jama’ah pada atsar diatas adalah mengikuti pendapat yang telah mereka sepakati.
2.    Firman Allah Swt dalam surat an-Nisaa: 115 yang berbunyi:
`tBurÈ,Ï%$t±çtAqߧ9$#.`ÏBÏ÷èt/$tBtû¨üt6s?ã&s!3yßgø9$#ôìÎ6­FtƒuruŽöxîÈ@Î6ytûüÏZÏB÷sßJø9$#¾Ï&Îk!uqçR$tB4¯<uqs?¾Ï&Î#óÁçRurzN¨Yygy_(ôNuä!$yur#·ŽÅÁtBÇÊÊÎÈ
Artinya: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Kehujjahan dari ayat di atas adalah ancaman Allah terhadap orang yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka jahannam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram untuk diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang beriman adalah hak dan wajib diikuti.
Selain ayat di atas yang menjadi dalil kehujjahan Ijma’ adalah firman Allah Swt dalam surat al-Imran :10 yang berbunyi:
¨bÎ)šúïÏ%©!$#(#rãxÿx.`s9š_Í_øóè?óOßg÷YtãóOßgä9ºuqøBr&IwurOèdß»s9÷rr&z`ÏiB«!$#$\«øx©(y7Í´¯»s9'ré&uröNèdߊqè%urÍ$¨Y9$#ÇÊÉÈ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. dan mereka itu adalah bahan Bakar api neraka”.
Serta firman Allah yang berbunyi:
y7Ï9ºxx.uröNä3»oYù=yèy_Zp¨Bé&$VÜyur(#qçRqà6tGÏj9uä!#ypkà­n?tãĨ$¨Y9$#tbqä3tƒurãAqߧ9$#öNä3øn=tæ#YÎgx©3$tBur$oYù=yèy_s's#ö7É)ø9$#ÓÉL©9$#|MZä.!$pköŽn=tæžwÎ)zNn=÷èuZÏ9`tBßìÎ6®KtƒtAqߧ9$#`£JÏBÜ=Î=s)Ztƒ4n?tãÏmøt7É)tã4bÎ)urôMtR%x.¸ouŽÎ7s3s9žwÎ)n?tãtûïÏ%©!$#yydª!$#3$tBurtb%x.ª!$#yìÅÒãÏ9öNä3oY»yJƒÎ)4žcÎ)©!$#Ĩ$¨Y9$$Î/Ô$râäts9ÒOŠÏm§ÇÊÍÌÈ
Artinya: “dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Q.S.al-Baqarah: 143)

Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan Ijma’, misalnya, apakah Ijma’ itu hujjah syar’i? ApakahIjma’ itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan? bolehkah kita memunafikan atau mengingkari Ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang tidak menjadikan Ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwaIjma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa Ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa Ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daut” yang mengatakan bahwaIjma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.
KehujjahanIjma’ juga berkaitan erat dengan jenisIjma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang Ijma akan ditinjau berdasarkan pembagian Ijma’ itu sendiri.
o  Kehujjahan Ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa Ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi Ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
o  Kehujjahan Ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang Ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai Ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian ulama mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap ulama mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau zanny. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh ulama mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan Ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa Ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya Ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian ulama mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian ulama mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya Ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya Ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan Ijma’ sharih.

6.             Ulama yang berhak membentuk Ijma
Jumhur ulama berpendapat bahwa, jika para mujtahid dipanggil dengan aliran bid’ahnya, maka mereka tidak termasuk dalam kategori ulama yang berhak membentuk Ijma’.Akan tetapi jika mereka dipanggil tidak dengan sebutan aliran bid’ahnya, maka hal ini tidak mengeluarkan mereka dari barisan ulama yang berhak membentuk Ijma’.
Sebagian fuqaha mensyaratkan Ijma’ dapat sempurna jika ulama  yang bersepakat tentang suatu hukum telah meninggal semua. Oleh karena itu, Ijma’ tidak dapat dianggap sah jika sebagian ulama mujtahid yang bersepakat tersebut masih hidup. Sebagai konsekuensi dari syarat ini adalah, bahwa seorang ulama mujtahid boleh mencabut kembali pendapatnya sehingga Ijma’tersebut menjadi batal. Syarat ini menunjukkan bahwa, seakan-akan Ijma’ hanya menuntut penerimaan (kesepakatan) para ulama mujtahid saja, tidak menuntut kehadiran mereka. Karena jika tidak demikian, niscaya syarat ini tidak mempunyai faedah sama sekali.
Akan tetapi mayoritas fuqaha tidak mensyaratkan hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa, Ijma’ telah sah (diakui), maka ia mengikat para fuqaha yang membentuk Ijma’ tersebut, serta generasi sesudah mereka. Pendapat ini sangat logis, karena jika Ijma’ tidak mengikat para ulama mujtahid yang membentuknya, serta mengetahui berbagai pendapat yang berkembang dalam proses pembentukannya, tentu Ijma’ tersebut lebih tidak mengikat pada selain ulama mujtahid di atas.
Sebagian ulama memberikan komentear mereka tentang Ijma’ Sukuti sebagai berikut: Ijma’ Sukuti tidak akan sempurna, kecuali jika para ulama mujtahid yang membentuknya telah meninggal semua, sehingga dapat diketahui bahwa tidak seorangpun dari para ulama mujtahid yang diam itu mengemukakan pendapatnya, yang menyebabkan Ijma’ tersebut tidak bersifat Sukuti lagi, melainkan sudah menjadi Jahri. Akan tetapi Ijma’ Sharih tidak perlu mensyaratkan menunggu semua ulama mujtahid tersebut mati.

7.             Sandaran (sanad) Ijma’
Para ulama bersepakat bahwa, yang dapat dijadikan landasan oleh Ijma’ hanyalah al-Qur’an dan Sunnah. Permasalahannya sekarang adalah, bolehkah Ijma’ para mujtahid yang didasarkan pada Qiyas atau Maslahat mengikat generasi yang hidup setelah mereka?.
Dalam hal ini para fuqaha terbagi dalam tiga pendapat sebagai berikut:
1.      Qiyas tidak dapat dijadikan landasan dalam Ijma’, karena Qiyas mempunyai beberapa segi yang bermacam-macam. Jika ia didasarkan pada sifat yang relevansi pada hukum serta berpengaruh pada pembentukanny,  namun perlu disadari pula bahwa para ulama mempunyai perbedaan persepsi terhadap sifat-sifat tersebut. Karenanya Qiyas tidak dapat dijadikan landasan bagi Ijma’.
Segi lain, kehujjahan Qiyas sendiri bukan merupak sesuatu yang telah disepakati, sehingga tidak mungkin Qiyas dapat dijadikan landasan bagi Ijma’. Para sahabatpun tidak pernah bersepakat  terhadap hukum syara’ yang tidak didasarkan pada nash-nash al-Qur’an dan Hadits.
2.      Qiyas dengan segala bentuknya dapat dijadikan landasan bagi Ijma’, karena Qiyas adalah hujjah syar’iyyah yang didasarkan pada dalil-dalil nash.
3.      Apabila ‘Illat suatu Qiyas disebutkan dalam nash atau sudah jelas, sehingga tidak memerluka n pembahasan yang mendalam dapat menimbulkan perbedaan persepsi, maka Qiyas dapat dijadikan landasan bagi Ijma’. Sebaliknya, jika ‘Illat suatu Qiyas tidak jelas, atau tidak disebutkan dalam nash,  maka Qiyas tersebut tidak dapat dijadikan landasan bagi Ijma’.
Sebagian ulama berpendapat bahwa, ada masalah-masalah yang tidak disepakati (Ijma’) berdasarkan Qiyas. Misalnya tentang hukuman orang yang meminum minuman keras (khamar), menurut Ijma’ yang didasarkan pada Qiyas adalah 80 kali dera. Akan tetapi jika diperhatikan, anggapan Ijma’ dalam masalah ini tidak benar, karena sahabat Umar ibn Khattab berpendapat bahwa, hukuman orang yang meminum khamar adalah 40 kali dera yang kemudian diikuti oleh imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, hukuman orang yang meminum khamar adalah disamakan dengan orang yang penuduh zina (haaddul qadzaf).

















BAB III
PENUTUP

1.             KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakanIjma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari Ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah / sumber hukum (Ijma’).
Dan dari Ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai Ijma’ itu sendiri.
Seperti Ijma’ sukuti misalnya, pengikut Imam Maliki dan Syafi’I memandang bahwa Ijma’ sukutitidak bisa dijadikan sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai Ijma’.
Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan sebaliknya.











                                           
DAFTAR PUSTAKA


M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994., Cetakan Ketiga1995.



Post a Comment

0 Comments