A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an yang diyakini oleh umat Islam
sebagai kalamullah (firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang
zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti. Ajaran dan petunjuk
pada Al-Qur’an tersebut berkaitan dengan berbagai konsep yang amat dibutuhkan
oleh manusia dalam mengarungi samudera kehidupannya di dunia ini dan di akhirat
kelak[1].
Sampai saat ini, sudah banyak sekali
ilmuwan modern mencoba untuk membahas tentang rahasia dibalik semua konsep
tersebut. Namun, jawaban yang mereka dapatkan hanya sebatas pengetahuan yang
terbatas pada apa yang bisa diterima oleh akal manusia dengan dibuktikan oleh
adanya penemuan saja. Rahasia dibalik semua konsep ajaran dan petunjuk tersebut
dan apa yang terjadi sebelumnya masih merupakan rahasia besar yang belum
terungkap walau dengan teknologi secanggih apapun.
Al-Qur’an berbicara tentang pokok-pokok
ajaran tentang Tuhan, Rasul, proses kejadian manusia, alam jagat raya, ilmu
pengetahuan, pembinaan dalam kehidupan bermasyarakat, dan masih banyak lagi.
Namun, dalam kesempatan kali ini penulis hanya akan membahas tentang perspektif
Al-Qur’an tentang proses kejadian manusia, ilmu pengetahuan, dan alam semesta.
B. PEMBAHASAN
1.
Perspektif al-Qur’an Tentang Penciptaan
Manusia
a.
Hakikat
Manusia
Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan
gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari
penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya yang paling sempurna dan
sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini ibn
‘Arabi melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa “tak ada makhluk yang
lebih bagus daripada mansuia, yang memilik daya hidup, mengetahui, berkehendak,
berbicara, melihat, mendengar, berpikir, dan memutuskan”[2].
Secara lebih jelas, keistimewaan dan
kelebihan manusia, diantaranya berbentuk daya dan bakat sebagai potensi yang
memiliki peliuang yang begitu besar untuk dikembangkan. Dalam kaitan dengan
pertumbuhan fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik,
fungsi organ tubuh, dan panca indera. Kemudian dari aspek mental, manusia
dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fatansi maupun gagasan. Potensi ini
dapat mengantarkan manusia memiliki peluang untuk bisa menguasai serta
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus menempatkannya sebagai
makhluk yang berbudaya[3].
b.
Peran
(Fungsi) Penciptaan Manusia
Menurut Prof. Dr. H. Jalaluddin untuk
mengetahui peran manusia dapat dirujuk antara lain melalui berbagai sebutan
yang diberikan kepadanya. Selaku makhluk ciptaan, manusia dianugerahkan
penciptanya dengan sejumlah nama dan sebutan.
Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan
berbagai nama, antara lain: al-Basyr, al-Insan, al-Nas,
dan Bani Adam. Nama sebutan ini mengacu pada gambaran tugas yang
seharusnya diperangkan oleh manusia. Sehubungan dengan hal itu maka untuk
memahami peran manusia, perlu dipahami terlebih dahulu konsep yang mengacu pada
sebutan yang dimaksud. Untuk lebih jelasnya perhatikan uraian berikut ini:[4]
1.
Konsep al-Basyr
Manusia dalam konsep al-Basyr
dipandang dari pendekatan biologis. Sebagai makhluk biologis berarti manusia
terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik
material, berupa tubuh kasar (ragawi). Dalam hal ini, manusia merupakan
makhluk jasmaniah yang secara umum terikat kepada kaidah-kaidah umum dari
kehidupan makhluk biologis.
Dalam konsep al-Basyr ini tergambar
tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana
ia harus berperan dalam upaya memenuhi kebutuhan primernya secara benar,
menurut tuntunan yang telah diatur penciptanya.
2.
Konsep konsep
al-Insan
Konsep al-Insan mengacu
pada bagaimana manusia dapat memerankan dirinya sebagai sosok pribadi yang
mampu untuk mengembangkan dirinya, agar menjadi sosok ilmuwan yang seniman,
serta berakhlak mulia secara utuh. Paling tidak pada tahap yang paling rendah
adalah mampu mencari dan menemukan yang baik, benar, dan indah, untuk dijadikan
rujukan dalam bersikap dan berprilaku. Dengan cara seperti itu diharapkan
manusia mampu mengembangkan potensi individunya, guna mencapai kehidupan yang
berkualitas.
Potensi menurut konsep al-Insan
diarahkan dalam upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Dari
kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran
(ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui
kemampuan berinovasi, manusia mampu mrekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai
bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk berbudaya dan
berperadaban.
3.
Konsep al-Nas
Dalam Al-Qur’an kosa kata al-Nas
umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia
diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki
dan wanita, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling kenal
mengenal (QS.49:13).
Sejalan dengan konteks kehidupan sosial
ini, maka peran manusia dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan
keharmonisan hidup bermasyarakat. Masyarakat dalam ruang lingkup yang paling
sederhana yaitu keluarga, hingga ke ruang lingkup yang lebih luas yaitu sebagai
warga antar bangsa.
4.
Konsep Bani
Adam
Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung
konsep Bani Adam, manusia diingatkan oleh Allah agar tidak tergoda oleh
setan (QS.7:26-27), pencegahan dari makan dan minum yang berlebihan dan tata
cara berpakaian yang pantas saat menjalankan ibadah (QS.7:31), ketakwaan
(QS.7:35), kesaksian manusia terhadap Tuhannya (QS.7:172), dan terakhir
peringatan agar manusia terperdaya hingga menyembah setan (QS.36:60).
Lebih dari itu, konsep Bani Adam,
dalam bentuk menyeluruh mengacu pada penghormatan nilai-nilai kemanusiaan.
Konsep ini menitikberatkan pada upaya pembinaan hubungan persaudaraan antar
sesama manusia. Menyatukan visi bahwa manusia pada hakikatnya berawal dari
nenek moyang yang sama, yaitu nabi Adam a.s. Dengan demikian manusia, apapun
latar belakang sosio-kultural, agama, bangsa, dan bahasanya, harus dihargai dan
dimuliakan. Dalam tataran ini manusia seakan berstatus sebagai sebuah keluarga
yang bersaudara, karena berasal dari nenek moyang yang sama.
c.
Tujuan
Diciptakannya Manusia
Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa
setidaknya ada dua macam tujuan dari diciptakannya manusia, yakni sebagai khalifah
(khalifatu fil ardhi) dan sebagai hamba Allah (‘Abdillah).
1.
Sebagai Khalifah
Allah
Menurut Al-Qur’an, manusia menempati
posisi yang istimewa di alam jagat raya ini. Manusia adalah wakil Tuhan di muka
bumi, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S al-Baqarah: 30
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz (
Artinya: “Dan
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Pada hakiatnya
eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah untuk melaksanakan tugas
kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai
dengan kehendak dari penciptanya.
Menurut Quraish Shihab
kata tersebut mencakup pengertian[5]:
a.
Orang
yang diberik kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun sempit, dan
b.
Khalifah
memiliki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan
dan kekeliruan.
Beranjak dari makna
yang termuat didalam kata khalifah tersebut, setidak-tidaknya tugas yang
harus dilakukan oleh manusia terdiri dari dua jalur, yaitu jalur vertikal dan
horizontal[6].
Jalur pertama mengacu
pada bagaimana manusia dapat mengatur hubungan yang baik denga sesama manusia
dan alam sekitarnya. Hubungan yang dibina adalah hubungan yang sejaajr dan sama
antar sesama makhluk Allah. Hubungan yang ramah dan saling menguntungkan, bukan
sebaliknya, yaitu atas dasar saling bermusuhan dan merugikan.
Adapun hubungan
vertikal, menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandatari Allah.
Dalam tugas ini manusia paling penting menyadari bahwa kemampuan yang
dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penugasan
dari penciptanya. Dengan demikian tugas ini mencakup cara bagaimana manusia
dapat menjalankan tugasnya sebagai pengemban amanat tersebut sebaik mungkin. Dalam
status tugasnya sebagai khalifah Allah, manusia dituntut untuk menjaga
dan melestarikan keharmonisan tatanan yang sudah diatur oleh Allah.
2.
Sebagai
Hamba Allah swt.
Selain bertugas sebagai
khalifah Allah di muka bumi tempat tinggalnya, manusia juga bertugas
sebagai hamba Allah. Hal ini sesuai dengan tujuan dari diciptakannya manusia
seperti termaktub dalam firman Allah berikut:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: “dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
(Q.S adz-Dzariyaat: 56)
Dalam perspektif ayat
ini, tujuan dari diciptakannya manusia adalah sebagai hamba Allah untuk
beribadah kepada-Nya, yaitu melakukan perbuatan apapun asal yang tidak terlarang
oleh agama dan diniatkan untuk ibadah. Sehingga apapun yang dikerjakan tidak
hanya bermanfaat untuk kehidupan di dunia semata, tetapi juga untuk kepentingan
bekal hidup di akhirat nanti[7].
d. Proses Kejadian Manusia
Telah banyak
kajian yang dilakukan para ahli mengenai kesesuaian informasi yang diberikan
Al-Qur’an dengan berbagai temuan di bidang ilmu pengetahuan mengenai asal usul
dan proses kejadian manusia[8].
Al-Qur’an
telah menegaskan bahwa manusia diciptakan secara khusus. Allah Swt berfirman:
øÎ) tA$s% y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) 7,Î=»yz #Z|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ #sÎ*sù ¼çmçG÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ
Artinya: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia
dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya.” (QS Shaad: 71-72)
Dalam ayat
lain, Allah Swt berfirman:
ª!$#ur /ä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜR ¢OèO ö/ä3n=yèy_ %[`ºurør& 4
Artinya: “Dan
Allah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari air mani…” (QS Faathir:
11)
Kita
perhatikan juga apa yang dikatakan al-Quran tentang penciptaan manusia ini.
Allah Swt berfirman:
uqèdur
Ï%©!$# t,n=y{ z`ÏB Ïä!$yJø9$#
Artinya: “Dan
Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air.” (QS Al-Furqan: 54)
$pk÷]ÏB öNä3»oYø)n=yz $pkÏùur öNä.ßÏèçR $pk÷]ÏBur öNä3ã_ÌøéU ¸ou$s? 3t÷zé& ÇÎÎÈ
Artinya: “Dari
bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan
kamu pada kali yang lainnya.” (QS Thaaha: 55)
ÌÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#y ÇÏÈ ßlãøs .`ÏB Èû÷üt/ É=ù=Á9$# É=ͬ!#u©I9$#ur ÇÐÈ ¼çm¯RÎ) 4n?tã ¾ÏmÏèô_u ÖÏ$s)s9 ÇÑÈ
Artinya: “Maka
hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari
air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.
Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah
mati).” (QS Ath-Thaariq: 5-8)
Dan banyak lagi
ayat-ayat lainnya yang seluruhnya menunjukkan bukti ilmiah yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Misalnya, dalam firman-Nya “Dan Dia (pula) yang menciptakan
manusia dari air”, Allah Swt menegaskan bahwa asal penciptaan manusia
adalah air. Ayat ini sesuai dengan bukti ilmiah yang mengatakan bahwa kira-kira
75 persen dari berat manusia adalah air[9].
Dengan mengkaji dan memahami ayat-ayat al-Qur’an
tentang kejadian penciptaan manusia, maka ktia akan menemukan beberapa fase
berikut dalam proses penciptaan manusia, yaitu[10]:
a.
Fase Nuthfah (Setetes Air
Mani)
Allah Swt menjelaskan bahwa air yang darinya manusia
diciptakan adalah air mani yang dalam bahasa Arabnya disebut “maa-un mahiin”
atau “maa-un hayyin”, yang memiliki arti sebagai air yang mempunyai potensi
kehidupan yang lemah. Dan sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya,
bahwa Allah Swt pun telah menciptakan manusia dari air mani (nuthfah). Nuthfah
ini adalah air mani laki-laki atau sperma.
Coba perhatikan firman Allah berikut ini:
$¯RÎ) $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB >pxÿôÜR 8l$t±øBr& ÏmÎ=tGö6¯R çm»oYù=yèyfsù $JèÏJy #·ÅÁt/
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur[11]....” (Q.S Al-Insaan: 2)
Namun dalam hal mengenai nuthfah Muhammad
Izzuddin Taufiq mempunyai penafsiran tersendiri, yaitu menurutnya yang dimaksud
dengan fase nuthfah disini adalah nuthfah amsyaj (sperma yang
telah bercampur) atau sel telur yang telah dibuahi sebagaimana yang terdapat
dalam firman Allah di atas[12].
Pernyataan ini dipertegas melalui firman Allah swt.
berikut:
§NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ
Artinya: “Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).” (Q.S
Al-Mu’minuun: 13).
b.
Fase ‘Alaqah (Segumpal Darah)
Al-alaqah dalam bahasa Arab berarti darah yang
membeku. Dan hal ini terbukti setelah dilakukan pengambilan gambar atas janin
pada periode ini masih dalam bentuk darah yang membeku, di mana anggota tubuh
belum terbentuk. Pada minggu ini biasanya akan terjadi pertumbuhan sel telur
yang subur dan pembentukan trofopals yang nantinya akan berubah menjadi ari-ari
dan tali pusar yang menghubungkan janin degnan plasenta.
Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut:
¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ .....
Artinya: “Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah....” (Q.S Al-Mu’minuun: 14)
c.
Fase Mudhgah
(Segumpal Daging)
Mudhgah adalah fase yang dimulai sejak akhir fase ‘alaqah hingga menjadi
tulang dan otot-otot. Lafal mudhgah ini menyifati keadaan janin selama
fase ini berlangsung baik berupa gumpalan sel-sel yang mulai membentuk
penyuburan maupun gumpalan daging yang membentuk gambaran permulaan setiap
anggota tubuh.
$uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB
Artinya: “...lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging....” (Q.S Al-Mu’minuun: 14)
d.
Fase Tulang
dan Daging
$uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm:
Artinya: “......dan segumpal daging
itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging.....” (Q.S Al-Mu’minuun: 14)
Ayat yang lalu telah menyebutkan
bahwa segumpal darah (‘alaqah) itu berasal dari setetes air mani (nuthfah),
segumpal daging (mudhgah) berasal dari segumpal darah (‘alaqah),
dan tulang belulang (‘idham) berasal dari segumpal daging (mudhgah).
Akan tetapi, ayat selanjutnya mengatakan “lalu tulang belulang itu kami
bungkus dengan daging”. Ini menunjukkan asal usul otot itu bukanlah dari
tulang, tetapi berasal dari segumpal daging.
Kata kasauna dalam ayat di
atas menggambarkan secara mendalam proses pergerakan otot-otot degnan tulang
belulang. Otot tersebut membungkus tulang walaupun tanpa harus terbuat dari
tulang[13].
e.
Fase
kejadian makhluk yang berbentuk lain
¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä
Artinya: “.....kemudian Kami jadikan
Dia makhluk yang (berbentuk) lain....” (Q.S Al-Mu’minuun: 14)
Setelah berlalu dua bulan,
perkembangan janin beralih perkembangan ukuran organ tubuh. Pada fase ini
sebagian besar organ tubuh yang baru mulai terbentuk. Setelah bulan ketiga,
perkembangan janin mulai bergerak-gerak menambah bobotnya dan mulai terfokus
pada pembentukan ciri-ciri manusia.
f.
Proses Kelahiran
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Artinya: “dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S
An-Nahl: 78)
Ketika dilahirkan, seorang bayi
langsung dapat mendengar dan melihat setelah berumur lima belas hari, sedangkan
akal dan kemampuan berpikir akan didapatkannya setelah beranjak dewasa.
Di antara sebab didahulukannya
pendengaran dari penglihatan karena pendengaran lebih penting daripada
penglihatan, dan tidak ada perselisihan dalam hal ini. Adapun diakhirkannya
hati (af-idah), mungkin disebabkan oleh nikmat pendengaran dan
penglihatan akan terasa lebih bermanfaat jika hati ikut menyertai keduanya.
2.
Perspektif Al-Qur’an Tentang Ilmu
Pengetahuan
Pengetahuan adalah sesuatu yang
diketahui oleh manusia melalui pengalaman, informasi, perasaan atau melalui
instuisi. Ilmu pengetahuan merupakan hasil pengolahan akal (berpikir) dan
perasaan tentang sesautu yang diketahui itu[14].
Sebagai makhluk berakal, manusia
mengamati sesuatu. Hasil pengamatan itu diolah sehingga menjadi ilmu
pengetahuan. Dengan pengetahuan itudirumuskannya ilmu baru yang akan
digunakannya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjangkau jauh di
luar kemampuan fisiknya.
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm
yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang berarti
ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilm adalah
bentuk masdar dari ‘alima, ya’lamu, ‘ilman[15].
Di dalam Al-Qur’an, kata ‘ilm dan
turunannya (tidak termasuk al-a’lam, al-‘alamin, dan alamat yang disebut
sebanyak 76 kali) disebutkan sebanyak 778 kali. Hal ini menandakan begitu
dimuliakannya ilmu bagi umat Islam dan sangat dianjurkan untuk mencarinya[16].
Selain itu, pentingnya ilmu
pengetahuan di dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan berbagai contoh peristiwa alam
dan benda-benda yang ada di dunia ini, tidak akan dapat dipikirkan dan diolah oleh
manusia untuk kepentingan hidupnya dan untuk memperkuat imannya, kecuali oleh
orang yang berilmu yang mampu menggunakan ilmunya. Allah berfirman:
ù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎôØnS Ĩ$¨Z=Ï9 ( $tBur !$ygè=É)÷èt wÎ) tbqßJÎ=»yèø9$# ÇÍÌÈ
Artinya: “dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu”. (Q.S Al-ankabuut: 43)
Pentingnya ilmu bagi orang yang
memilikinya dijelaskan dalam Al-Qur’an, yakni dalam surat Al-Mujadilah ayat 11
berikut:
Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4
Artinya:
“.......niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.....” (Q.S
Al-Mujadilah: 11)
Dari beberapa
uraian dan ayat-ayat di atas dapat kita tarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut[17]:
Pertama, al-Qur’an sangat mendorong dikembangkannya ilmu
pengatahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang menyuruh
manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensinya untuk
memperhatikan segala ciptaan Allah swt.
Kedua, dorongan al-Qur’an terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan tersebut terlihat pula dari banyaknya ayat al-Qur’an (lebih dari
700 ayat) yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan kedudukan yang
tinggi bagi orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu[18].
Ketiga, sungguhpun banyak temuan di bidang ilmu pengetahuan
yang sejalan dengan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an, namun Al-Qur’an bukanlah
buku tentang imu pengetahuan. Al-Qur’an tidak mencakup seluruh cabang ilmu
pengetahuan.
Keempat, bahwa penemuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan
patut dihargai. Namun tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong
dibandingkan dengan kebenaran Al-Qur’an.
Kelima, Al-Qur’an adalah kitab suci yang berisi petunjuk (hudan)
termasuk petunjuk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu
pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak
yang mulia.
Keenam, kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu
pengetahuan harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Hal ini akan terjadi manakala tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan
tersebut tidak dilepaskan dari dasar peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak
tersebut.
Ketujuh, sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an tidak hanya
mendorong agar manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga
memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara menemukan dan
mengembangkannya, tujuan penggunannya, serta sifat dari ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Kedelapan, al-qur’an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu
(ontologi), melaikan juga tentang cara mengembangkan ilmu pengetahuan (epistimologi)
dan pemanfaatan ilmu (aksiologi). Sumber ilmu itu pada dasarnya ada dua,
yaitu wahyu (Al-Qur’an) yang menghasilkan ilmu naqli, dan alam melalui
penalaran yang menghasilkan ilmu aqli.
3.
Perspektif
Al-Qur’an Tentang Penciptaan Alam
Al Qur’an
diturunkan bukan hanya kepada umat Islam, tetapi sebagai mediator
menyampaikan pesan Tuhan Pencipta Alam kepada semua makhluk-Nya. Al Qur’an yang
sedemikian sempurna ini memberi kabar dan cerita semua kejadian di alam semesta
ini.
a.
Pandangan
Al-Qur’an Mengenai Materi Dasar Pembentukan Alam Semesta
Ilmu
pengetahuan moderen, ilmu astronomi, baik yang berdasarkan pengamatan maupun
berupa teori, dengan jelas menunjukkan bahwa pada suatu saat seluruh alam semesta
masih berupa 'gumpalan asap' (yaitu komposisi gas yang sangat rapat dan tak
tembus pandang.
Salah satu
hal yang membuat takjub para ilmuwan adalah adanya persesuaian antara konsep
penciptaan alam semesta menurut Al-Qur'an dan sains (ilmu pengetahuan) modern.
Dalam pandangan sains modern, pada awalnya alam semesta ini masih berupa kabut
gas yang panas dan kemudian terpisah. Terpisahnya kabut gas ini merupakan
proses awal terciptanya galaksi-galaksi. Dari pecahan-pecahan kabut gas
tersebut selanjutnya melalui proses evolusi terbentuk milyaran matahari dengan
planet-planetnya, termasuk bumi yang kita huni ini. Ilmuwan cerdas yang pertama
kali mengemukakan teori di atas bernama Laplace dari Perancis dan Immanue Kant
dari Jerman[19].
Teori yang
mengatakan bahwa alam semesta berasal dari kabut ini sesuai dengan penjelasan
Allah yang ada di dalam Al-Qur’an surat Al-Fushilat ayat: 11 (QS 41/11).
§NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$uK¡¡9$# }Édur ×b%s{ß tA$s)sù $olm; ÇÚöF|Ï9ur $uÏKø$# %·æöqsÛ ÷rr& $\döx. !$tGs9$s% $oY÷s?r& tûüÏèͬ!$sÛ ÇÊÊÈ
Artinya : “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan
langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati
atau terpaksa." Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka
hati."
Teori alam semesta ini berasal dari kabut gas yang
panas, dapat juga dibaca dalam surat Fushillat ayat 9-12.
b.
Proses
Penciptaan Alam semesta Menurut Perspektif Al-Qur’an
Dalam
pandangan sains modern, pada awalnya alam semesta ini masih berupa kabut gas
yang panas dan kemudian terpisah. Terpisahnya kabut gas ini merupakan proses
awal terciptanya galaksi-galaksi. Dari pecahan-pecahan kabut gas tersebut
selanjutnya melalui proses evolusi terbentuk milyaran matahari dengan planet-planetnya,
termasuk bumi yang kita huni ini. Ilmuwan cerdas yang pertama kali mengemukakan
teori di atas bernama Laplace dari Perancis dan Immanue Kant dari Jerman.
Akan tetapi,
ratusan tahun sebelum ilmuwan itu mengemukakan teorinya, semua teori tersebut
telah dijelaskan oleh Allah melalui Al-Qur’an dalam Surat Al Anbiya ayat 30:
óOs9urr& tt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
Artinya: "Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya.
Ayat di atas memang tidak menjelaskan bagaimana
terjadinya proses pemisahan itu, karena Al-Qur’an bukan kitab ilmiah
sebagaimana kitab ilmiah yang dikenal selama ini, namun keterpaduan dan
pemisahan dalam ayat tersebut telah dibuktikan dan dibenarkan dalam teori
ilmiah[20].
Hasil observasi yang dilakukan Edwin P. Hubble
(1889-1953), menyimpulkan bahwa ada pemuaian alam semesta. Ekspansi kosmos
merupakan fenomena yang mendapat dukungan sains modern dan bertitik tolak dari
teori relativitas. Dengan demikian maka ekspansi kosmos akan selalu
membesar, dan pembesaran ituakan lebih penting jika oran menjadi lebih jauh
dari kita[21].
Inilah rupanya yang diisyaratkan Al-Qur’an dalam surat al-Dzariat ayat 47
berikut:
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷r'Î/ $¯RÎ)ur tbqãèÅqßJs9 ÇÍÐÈ
Artinya: “dan langit itu Kami bangun
dengan kekuasaan (Kami) dan meluaskannya. Sesungguhnya Kami benar-benar
berkuasa”.
Dari semua uraian di atas, ada beberapa kesimpulan
penting yang dapat kita petik, yaitu[22]:
1.
Disebutkan bahwa antara langit dan
bumi (kosmos) semula merupakan satu kesatuan (ratg) lalu mengalami proses pemisahan
(fatg). Perlu ditegaskan di sini, bahwa fatg dalam bahasa Arab artinya
memisahkan dan ratg artinya perpaduan atau persatuan beberapa unsur untuk
dijadikan suatu kumpulan yang homogen.
2.
Disebutkan adanya kabut gas (dukhan)
sebagai materi penciptaan kosmos.
3.
Disebutkan pula bahwa penciptaan
kosmos (alam semesta) tidak terjadi sekaligus,tetapi secara bertahap.
Apabila dikaitkan dengan sejumlah teori seputar
terjadinya kosmos menurut sains modern, maka konsep penciptaan semesta yang
tertera dalam Al-Qur'an tidak dapat disangkal lagi kebenarannya.
4.
Hubungan
antara Manusia, Ilmu Pengetahuan, dan Alam Semesta
Manusia dan alam mempunyai keterikatan yang kuat
dimana keduanya mempunyai hak dan kewajiban antara satu dengan yang lain untuk
menjaga keseimbangan alam. Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan
manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang
ditaklukkan, atau antara tuhan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam
ketundukan kepada Allah SWT. Manusia diperintahkan untuk memerankan fungsi
kekhalifahannya yaitu kepedulian, pelestarian dan pemeliharaan. Dan dalam
menjalankankan fungsinya tersebutlah manusia memerlukan ilmu pengetahuan[23].
Untuk melaksanakan tanggung jawabnya, manusia
diberikan keistimewaan berupa kebebasan untuk berkreasi sekaligus menghadapkan
dengan tuntutan kodratnya sebagai makhluk psikofisik. Namun ia harus sadar akan
keterbatasannya yang menuntut ketaatan dan ketundukan terhadap aturan Allah,
baik dalam konteks ketaatan terhadap perintah beribadah secara langsung (fungsi
sebagai abdun) maupun konteks ketaatan terhadap sunatullah (fungsi sebagai
khalifah). Perpaduan antara tugas ibadah dan khalifah inilah yang akan
mewujudkan manusia yang ideal yakni manusia yang selamat dunia akherat.
Sebagai bekal untuk menjalankan semua tugasnya, yakni
sebagai Hamba sekaligus sebagai Khalifah Allah di bumi manusia
diberikan potensi bawaan. Dalam kaitan dengan pertumbuhan
fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik, fungsi organ
tubuh, dan panca indera. Kemudian dari aspek mental, manusia dilengkapi dengan
potensi akal, bakat, fatansi maupun gagasan. Potensi ini dapat mengantarkan
manusia memiliki peluang untuk bisa menguasai serta mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Sehingga dengan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut diharapkan manusia dapat menjalankannya
tugasnya tadi dengan optimal, khususnya dalam tugas memelihara, meramaikan, dan
memakmurkan bumi sebagai perwujudan ibadah kepada-Nya.
C.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Ø Al-Qur’an
yang diyakini oleh umat Islam sebagai kalamullah (firman Allah) yang
mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia ini dan
di akhirat nanti. Yang kebenarannya telah banyak dibuktikan oleh ilmu
pengetahuan modern.
Ø Menurut perspektif
Al-Qur’an pada dasarnya manusia diciptakan Allah dari sari pati tanah (thin),
kemudian dari air yang hina, dan melalui beberapa tahapan seperti tahap nutfah,
‘alaqah, mudhgah, tahap tulang dan daging, dan berakhir pada proses kelahiran.
Dan semua proses yang digambarkan oleh Al-Qur’an itu telah terbukti
kebenarannya oleh penemuan para ilmuan modern sekarang.
Ø Ilmu bagi umat Islam
merupakan sesuatu yang sangat dimuliakan, demi menjaga derajat kemuliaannya
itulah mengapa di dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari 700 ayat yang membahas
tentang keutamaan ilmu, keutamaan orang yang berilmu, dan keutamaan orang yang
menuntut ilmu. Bahkan dalam Islam menuntut ilmu itu merupakan suatu kewajiban bagi
setiap pemeluknya.
Ø Jauh sebelum para
ilmuwan abad ke-20 menemukan jawaban tentang proses penciptaan alam semesta,
Al-Qur’an yang diturunkan pada 1400 tahun yang lalu telah lebih dahulu
menggambarkan proses penciptaannya dalam surat An-Naaziat ayat 27-33. Hal ini
lagi-lagi membuktikan kepada seluruh umat manusia akan kebenaran dan keabsahan
Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Dradjat, Zakiah, dkk. 2006. Ilmu Pendidikan Islam.
Cet. ke-6. Jakarta: Bumi Aksara.
Fuad Pasya,
Ahmad. Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur’an.
Cet. ke-1. Solo: Tiga Serangkai.
Gojali, Nanang.
2004. Manusia, Pendidikan, dan Sains dalam perspektif tafsir hermeneutik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Jalaluddin.
2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: P.T RajaGrapindo Persada.
Mahmud Al-Aqqad,
Abbas. 1991. Manusia Diungkap Al-Qur’an. Cet. ke-1. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Masyhur, Kahar.
1986. Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Ilmu Pengetahuan, Akhlak, dan Iman.
Jakarta: Kalam Mulia.
Nata, Abuddin.
2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy). Cet.
ke-1. Jakarta: PT.RajaGrapindo Persada.
Saleh Abdullah,
Abdurrahman. 2005. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an.
Jakarta: Rineka Cipta.
Shihab, Quraish. 1999. Wawasan
Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Taufiq, Muhammad
Izzudin. 2006. Dalil Afaq Al-Qur’an dan Alam Semesta (Memahami Ayat-ayat
Penciptaan dan Syubhat). Solo: Tiga Serangkai.
SUMBER LAIN:
Dr. Abdul Basith Jamal & Dr. Daliya Shadiq Jamal
dalam Sumber:
http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=570:penciptaan
manusia dalam pandangan Al-Qur’an... Diakses pada tanggal 14/02/2013 16:30.
http://www.syasapratama.com/?Makalah:Pend._Islam:Alam_Semesta_dalam_Pandangan_Islam.
Hmtl. Diakses pada tanggal 15/02/2013. 16:52
[1] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat
al-Tarbawiy), PT. RajaGrafindo Persada, (Jakarta: 2002), hal: 1.
[7] Nanang Gojali, Manusia,
Pendidikan, dan Sains dalam perspektif Tafsir Hermeneutik, Rineka Cipta,
(Jakarta: 2004), hlm:68.
[9] Oleh: Dr. Abdul Basith Jamal & Dr. Daliya
Shadiq Jamal dalam Sumber: http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=570:penci...
Diakses pada tanggal 14/02/2013 16:30.
[10] Muhammad Izzudin Taufiq, Dalil Afaq Al-Qur’an dan Alam Semsta
(Memahami ayat-ayat penciptaan dan syubhat), Tiga Serangkai, (Solo: 2006),
hlm: 87-106.
[11] Maksudnya: bercampur antara benih laki-laki dan perempuan.
[12] Ibid, (Muhammad Izzudin Taufiq, Dalil Afaq Al-Qur’an dan
Alam Semsta.........), hlm: 89
[13] Kahar Masyhur, Ayat-ayat
Al-Qur’an Tentang Ilmu Pengetahuan, Akhlak, dan Iman, Kalam Mulia,
(Jakarta: 1986), hlm: 14.
[14] Zakiah dradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara,
(Jakarta: 2006), cet. ke-6, hlm: 5.
[15] Ibid, (Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir
al-Ayat..........), hlm: 155.
[16] Ibid, (Zakiah dradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam),
hlm: 8.
[17] Ibid, hlm: 166-169
[18] Di hari kiamat nanti tinta seorang ulama dan darah seorang syuhada
akan ditimbang; orang yang menyintai ilmu dan ulama tidak akan dihitung
kesalahannya sepanjang hayat (dinukil oleh al-Qadli Husain bin Muhammad); orang
yang memuliakan seorang yang berilmu nilainya sama dengan memuliakan tujuh
puluh nabi; dan orang yang memuliakan orang yang menuntut ilmu sama nilainya
dengan memuliakan tujuh puluh syuhada (hadits ini terdapat dalam Kitab Kanzul
Amal juz V); orang yang mengagungkan seorang ulama seolah-olah mengagungkan
Allah; dan orang yang meremehkan seorang ulama seolah-olah meremehkan Allah dan
Rasul-Nya. Lihat Abuddin Nata, op.cit. hlm: 167.
[19] Ahmad Fuad Pasya, Dimensi
Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur’an, Tiga Serangklai,
(Solo: 2004), cet ke-1, hlm: 41-42.
[23]http://www.syasapratama.com/?Makalah:Pend._Islam:Alam_Semesta_dalam_Pandangan_Islam.
Hmtl. Diakses pada tanggal 15/02/2013. 16:52
0 Comments
Terima Kasih telah berkunjug ke Artikel Saya, Silahkan Komnetar di Halaman bawah ini. Jadilah Pengutip yang Baik.