Sejarah Ilmu Tasawuf
1. Berbicara tentang pengertian
dari “Tasawuf” dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
a. Dari segi etimologis
Secara
etimologis, pengertian dari tasawuf terdiri dari beberapa macam sebagai
berikut:
Pertama, Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah”
( اَهل الصفة ),
yang berarti sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW. yang hidupnya diisi
dengan banyak berdiam diserambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya
untuk beribadah kepada Allah SWT.
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shafa’ ” ( الصفاء ), yang berarti orang-orang yang
mensucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya.
Ketiga, ada yang megatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata “shaf” ( صف ), yang dinisbatkan kepada orang-orang
yang ketika shalat berada di Shaf yang paling depan.
Keempat, ada yang mengatakan bahwa istilah Tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang
dari Bani Shuffah.
Kelima, istilah taaswuf ada yang menisbahkannya dengan kata istilah bahasa Grik
atau Yunani, yakni “Saufi” ( سوف )yang maknya sama dengan kata “hikmah” ( حكمة ), yang berarti kebijakasnaan.
Keenam, ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shaufanah”,
yang sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu, yang banyak sekali tumbuh di
padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum sufi itu berbulu-bulu sepertibuah
itu pula, dalam kesederhanaannya.
Ketujuh, ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shuf” ( صوف ) yang berarti bulu domba atau wol.
Namun dari ketujuh kata tersebut yang paling dekat
maknya dengan tasawu adalah kata yang ketujuh, yakni kata “shuf”, yang
diakui oleh beberapa ulama, yakni Al-Kalabadzi, Asy-Syukhrawardi, Al-Qusyairi,
dan lainnya, walaupun pada knyataannya, tidak semua kaum sufi yang memakai
pakaian wol.
b. Secara Terminologi
Pengertian tasawuf secara istilah
menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Al Junaid Al
Baghdadi (w. 289H.) yang menyebutkan, "Tasawuf adalah
riyadhah (latihan) untuk
membersihkan jiwa dari
sifat-sifat kebinatangan dan mengisinya
dengan akhlak
mulia melalui pelaksanaan ajaran agama yang benar dengan mengikuti
apa yang disunnahkan Rasulullah saw.
Menurut Syamnun ia menyatakan
bahwa tasawuf adalah hendaklah engkau memiliki sesuatu dan tidak dimiliki
sesuatau.
Menurut Jamaludin kafie (2003,
hlmn: 8-9), tasawuf adalah wasilah (medium) yang ditempuh oleh seseorang
mukmin melalui proses upaya dalam rangka menghakikatkan syari’at thariqat untuk
mencapai ma’rifat.
Menurut Muhammad Zaki Ibrahim
tasawuf Islami mempunyai arti membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang
hina, dan menghaisinya dengan sesuatu yang lebih baik untuk mencapai tingkat
yang lebih dekat dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi, baik lahir
maupun bathin.
2. a.
Asal usul ajaran Sufisme
Berhubungan
dengan kemunculan pertama kali aliran sufi, kata ‘sufi’ tidak dikenal pada
jaman shahabat, lebih-lebih kata tersebut tidak diketahui dalam tiga generasi
pertama yang terbaik. Istilah tersebut dikenal setelah penghujung tiga generasi
pertama.
Kemunculan pertama aliran sufi di Basrah, ‘Iraq. Dimana beberapa orang ingin berlebih-lebihan dalam ibadah dan dalam menghindari kehidupan keduniaan, sebagaimana tidak ditemukan di tempat lain.
Kemunculan pertama aliran sufi di Basrah, ‘Iraq. Dimana beberapa orang ingin berlebih-lebihan dalam ibadah dan dalam menghindari kehidupan keduniaan, sebagaimana tidak ditemukan di tempat lain.
Ketika
aliran sufi pertama muncul tidaklah ada ciri khusus mereka yang sangat jelas,
tetapi hanya sebuah masalah mulai berlebihan dalam meninggalkan kehidupan
dunia, dan terus-menerus dalam dzikir (mengingat Allah) dan membiasakan dengan
rasa khouf (takut) yang berlebihan dalam mengingat Allah yang kadang
mengakibatkan seseorang pingsan atau mati ketika mendengar sebuah ayat yang
menyebutkan sebuah ancaman adzab/siksa.
Menurut
para pengikut sufiyah bahwa nas-nas Al-Kitab dan Sunnah, itu mempunyai yang
zhohir (mempunyai makna tersurat yang jelas) dan yang bathin (pengertian
tersirat yang tersembunyi)… kelihatan bahwa sangat jelas mereka mengambil
gagasan ini dari Bathiniyah. Sehingga semua jenis gagasan ini dicampur,
dimulai dari sikap berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia sampai membuka
pintu bid’ah gagasan bahwa ketuhanan bersemayam dalam makhluk, sampai gagasan
bahwa semua makhluk adalah satu hakikat, yang merupakan Allah (wihdatul wujud).
Dari percampuran
semua pemikiran ini lahir aliran sufi, yang muncul dalam Islam. Aliran
ini berkembang pada abad empat dan lima dan mencapai puncaknya setelah
itu, yang semakin jauh dari petunjuk Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah yang murni.
Sampai para pengikut aliran sufi menyebut semua yang mengikuti Al-Qur’an
dan Sunnah sebagai ‘ahli syari’at’ dan ‘ahli tekstual’
(ahlul-dhaahir), sedangkan mereka menyebut diri mereka sebagai
‘ahli hakikat’ dan ‘orang yang punya pengetahuan tersembunyi’ (ahlul-batin).
b. Pandangan Islam tentang tasawuf
Pandangan
Islam tentang tasawuf adalah upaya seorang mukmin dalam mendekatkan diri kepada
Allah dengan cara mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela
kemudian diisi dengan perbuatan yang terpuji guna mendapatkan ridha dari Allah
SWT.
Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri dimana
orang-orang yang menekuninya tidak menaruh perhatian yang besar terhadap dunia
atau bahkan memutuskan hubungannya dengan dunia. Disamping itu ajaran tasawuf
juga selalu didominasi oleh ajaran-ajaran seperti khauf dan raja’,
at-taubah, al-zuhud, al-tawwakal, al-syukr, al-shabr, al-ridha, dan lainnya
yang notabenenya sangat dianjurkan dalam Islam. Didalam Al-Qur’anjuga telah
banyak ayat-ayat yang memerintahkan kepada setiap mukmin untuk melakukan semua
hal ihwal yang ada dalam ajaran tasawuf tersebut.
Seperti firman Allah SWT. Tentang anjuran untuk
berserah diri kepada Allah, bersyukur terhadap pemberian-pemberian Allah,
bersabar serta ridha kepadanya yang berbunyi:
فَا صْبِرْ اِنّ وَعْدَ اللٌّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ
لِذَ نْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِا لْعَشِيَ ولْاِبْكَرِ
Artinya: “maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya
janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah
seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”. (Q.S al-Mu’minun: 55)
Selain ayat diatas masih banyak lagi ayat-ayat
al-Qur’an yang lain yang mengajarkan umat manusia untuk selalu beribadah dalam
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Asalkan dengan jalan yang benar dan sesuai
dengan tuntunan sunnah Rasulullah SAW.
Sebagaimana sabda beliau yang artinya:
“Apa yang terjadi dengan orang yang mengatakan
demikian dan demikian. Saya berpuasa tetapi saya berbuka, saya sholat malam
tapi saya juga tidur, dan saya menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku,
maka dia bukan golonganku.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Jadi walau bagaimana pun
juga Islam tetap memandang baik semua ajaran-ajaran yang ada didalam tasawuf
itu asalkan dilakukan dengan cara dan jalan yang sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan Allah didalam kitab-Nya (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya.
3. a. Sejarah perkembangan tasawuf akhlaqi,
falsafi dan syi’i
Dalam
sejarah perkembangan tasawuf, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu
tasawuf yang mengarah pada perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori
perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan
pemahaman mendalam. Pada
perkembangannya, tasawuf ke arah pertama sering disebut tasuwuf akhlaqi.
Ada yang menyebutkan tasawuf yang sering dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun
tasawuf yang berorientas ke arah kedua disebut tasawuf disebut sebagai falsafi
. tasawuf banyak dikembangakan para sufi yang berlatar belakang sebagai
filosof di samping sebagai sufi.
Pembagian
dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecenderungan ajaran yang
dikembangkan, yakni kecenderungan pada perilaku atau moral keagamaan dan
kecenderungna pada pemikirin. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga mempunyai jalan
sendiri-sendiri. Untuk melihat perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda ini,
perlu ditinjau lebih jauh tentang gerak sejarah perkembanganya.
Pada mulanya
tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna-makna
intuisi-intuisi islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in kecenderungan orang
terhadap ajaran Islm secara lebih analistis sudah muncul. Ajaran islam
dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek
batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan aspek
dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa
mengabaikankan aspek luarnya yang dimotifasikan untk membersihkan jiwa.
Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara
hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.
Pada abad
ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang
berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan
tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya
dekadensi moral yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun
berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan
mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal
yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian yang
berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang
sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya
dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada
alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf.
Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek
yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji.
Pada
abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima
taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf
dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam
terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali
berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan
aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj
dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Sejak abad
keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka
dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya,
tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga juga tidak dapat disebut murni
filsafat. Di antara mereka terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549
H) penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi
(wafat pada tahun 638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun
632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta
tokoh-tokoh yang lainnya yang sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan
pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka
pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, wujud
dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan
berdampak besar bagi para sufi mutakhir.
Dengan
munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf
yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf akhlaqi
ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan
penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh
sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan
demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih berorientasi pada
pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan
pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat)
dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu
bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya
penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf
akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya,
diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriayah, Imam
Al-Ghazali, dan para pemimpin thariqat yang memadukan taswuf dengan
filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para sufi yang juga seorang filosof ini banyak
mendapat kecaman dari para fuqaha akibat pernyataan-pernyataan mereka
yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap
golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah (wafat pada tahun 728
H).
Selama abad
kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan berkembang.
Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan muncul kembali
dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam
hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua ini pada dasarnya merupakan
imbas kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal jama’ah di atas
aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu sunnah wal
jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami,
Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk
kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai
timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh
kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran
Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh karena
itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan
mengembalikannya pada landasan Al-Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan
Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang
member bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan
dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu
sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini
membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga
doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat
dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi
secara implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang
mengucapkan ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara
sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnay sifat baru-Nya.
Dengan
demikian, abad kelima Hijriah merupakan tonggak yang menentukan kejayaan
tasawuf Sunni. Pada abad tersebut, tasawuf Sunni tersebar luas
dikalangan dunia Islam. Fondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka lama
pada berbagai lapisan masyarakat Islam.
Diluar
dua aliran di atas, ada juga yang memasukkan tasawuf aliran ketiga, yaitu
tasawuf syi’i atau syi’ah. Pembagian yang ketiga ini didasarka atas
ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan
tuhan. Kaum syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut
Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa perang shiffin (yakni
perang anta pendukung kekholifaan Ali dan pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan),
orang-orang pendukung fanatik Ali memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan
Persia, yaitu suatu daratan yang terkenal banyak mewarisi tradisi pemikiran
semenjak imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah kontak antara budaya
Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di daerah tersebut.
Ketiak itu, di daratan Persia ini sudah berkembang tradisi ilmiah.
Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah begitu berkembang mendahului
wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh
karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kaca mata
keterpengaruhan Persia oleh pemkiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalm Al-Muqaddimah telah
menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ibnu
Khaldun melihat kedekatan tasawuf falosofis dengan sekte ismailiyah dan Syi’ah.
Sekte ismailiyah menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan
para imam mereka. Menurutnya, kedua kelomok ini memiliki kesamaan, khususanya
dalam persoaalan “quthb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb
adalah puncak kaum arifin, sedangakna abdal merupakan perwakilan.
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin yang seperti ini mirip dengan doktrin
aliran Ismailiyah tentang imam dan para wakilnya begitu juga tentang
pakaian compang-camping yang disebut-sebut berasal dari imam Ali.
b. Tokoh-tokoh tasawuf akhlaqi, falsafi, dan
syi’i
Ø Tokoh-tokoh
tasawuf akhlaqi antara lain, yaitu:
1.
Hasan al-Bashri (21-110 H)
2.
Al-Muhasibi (165-243 H)
3.
Al-Qusyairi (376-465 H)
4.
Al-Ghazali (450-505 H)
5.
Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H)
6.
Abu Ismail Al-Anshari, yang sering disebut
dengan Al-Harawi
Ø Tokoh-tokoh
tasawuf falsafi antara lain sebagai berikut:
1.
Syukhrawardi Al-Maqtul (meninggal pada tahun 549 H)
2.
Syekh Akbar Muhyidin Ibnu Arabi (meninggal pada
tahun 638 H)
3.
Ibnu Faridh (meninggal pada tahun 632 H)
4.
Abdul Haqq Ibnu Sab’in Al-Mursi (meninggal pada
tahun 669 H)
5.
Ibnu Masarrah, dan masih banyak lagi
Ø Tokoh-tokoh
tasawuf syi’i antara lain sebagai berikut:
Kalau
berbicara masalah tokoh tasawuf syi’i kebanyakan dari mereka adalah para
pengikut kaum syi’ah, khususnya sekte Isma’iliyyah.
4. Pembagian tasawuf menurut
para ahli sufi:
Tasawuf
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah
tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti
atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,
tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan
mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’
lama sufi.
Dalam pandangan para sufi
berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan
terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal
memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan
kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa
nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama
sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan
akhlak disusun sebagai berikut:
1.
Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan
oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan
akhlak tercela. Salah
satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara
lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2.
Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi
diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.
Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari
akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat
eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah
kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan
adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan
kepada Tuhan.
3.
Tajalli
Untuk pemantapan dan
pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian
pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna
terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ
tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan
kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
b.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang
didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana
mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat
dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya
selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai
filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan
pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat
dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan
oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap
ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan
argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.
c.
Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan
diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan
berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan. Paham tasawuf
syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena
kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.
Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara
tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau
ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.
Sementara itu, Azyumardi
Azra tidak membedakan antara syi’ah dengan sunni dalam persoalan tasawuf.
Dengan alasan, pertama, tidak dikenal dalam triminologi Islam yang
disebut dengan tasawuf Syi’i sebab hanya ada tasawu yang terbagi menjadi dua,
yaitu tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis. Tasawuf
ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan
lain-lain. Dan tasawuf akhlaqi yang mengarah pada perilaku dan tasawuf yang
mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori
yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam.
Didalam tradisi Syi’ah dua
aliranv tasawuf (akhlaqi dan falsafi) juga diadopsi. Tetapi orang Syi’ah lebih
banyak yang lebih menekankan kepada tasawuf ‘amali. Jadi dalam tasawuf
tidak ada perbedaan antara Syi’ah dan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syi’ah
yang menganut tasawuf al-Ghazali, yang menekankan pada tasawuf ‘amali.
Di sisi lain,
Ath-Thabathaba’i mencoba menjelaskan bahwa tasawuf pada dasarnya berasal dari
Syi’ah. Ia menjelaskan bahwa ilmu makrifat atau tasawuf seperti diamati pada
masa kini, mula-mula timbul dalam dunia sunnah kemudian diakalangan kaum
Syi’ah. Orang yang menyatakan secara terbuka sebagai sufi dan penganut ilmu
ma’rifat, dan diakui sebagai mursyid atau guru rohani dari tarekat
orang-orang sufi, dalam bidang fiqh Islam tampaknya mengiktui paham sunni.
Walaupun begitu, para mursyid ini menari mata rantai silsilah kerohanian
mereka, yang dalam kehidupan rohani seperti silsilah keturunan dari seseorang,
melalui mursyid-mursyid mereka yang terdahulu kepada Ali. Juga hasil kasysyaf
(vision) dan ilham mereka, seperti diriwayatkan, kbanyakan memuat kebenaran
mengenai keesaan Ilahi dan martabat kehidupan rohani, yang terdapat dalam
ucapan-ucapan Ali dan para Imam Syi’ah lainnya.
Sesuai dengan ucapan para
ahlul bait, imam, atau menurut istilah kaum sufi, “manusia universal”, adalah
manifestasi nama-nama Ilahi dan bimbingan kerohanian terhadap kehidupan dan
perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang bisa berkata dengan mempertimbangkan
kosepsi kaum Syi’ah mengenai walayat, bahwa dari sudut pandangan tentang
kehidupan rohani dan dalam kaitannya dengan sumber walayat, para mursyid
tasawuf adalah “orang-orang Syi’ah” walaupun dari sudut pandang bentuk
lahiriah agama, mereka mengikuti mazhab fiqh sunni.
Daftar Rujukkan:
Anwar
,Rosihan.Solihin, Mukhtar. 2006.Ilmu Tasawuf.Bandung:CV PUSTAKA SETIA
Hamka.1986.Tasawuf
Perkembangan dan pemurniaanya.Jakarta:P.T.CITRA SERUMPUN PADI
Hilal,Ibrahim.2002.Tasawuf(antara
agama dan filsafat).Bandung.PUSTAKA HIDAYAH
Jamil.2007.Cakrawala
Tasawuf.Jakarta:GP.Press
Nata,Abudin.
2003.Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Sireger,Riva’iy.2002.Tasawuf(dari sufisme Klasik ke Neo
Sufisme.Jakarta:Rajawali après
0 Comments
Terima Kasih telah berkunjug ke Artikel Saya, Silahkan Komnetar di Halaman bawah ini. Jadilah Pengutip yang Baik.